Aku Rana, seorang gadis yang tinggal di salah satu desa terdalam. Namun aku tidak seperti teman seusiaku di sana, aku memiliki mimpi yang besar agar desaku menjadi desa yang makmur dan maju. Di desaku belum ada sekolah tingkat menengah atas. Hanya ada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama dengan fasilitas yang seadanya. Tak jarang teman seusiaku lebih memilih untuk bekerja atau menikah karena situasi dan kondisi yang ada.
Ketika tamat dari SMP, aku memilih merantau ke luar kota untuk mendapatkan pendidikan SMA. Walaupun dengan berat hati ayah dan ibu harus merelakanku jauh dari mereka. Aku bersyukur, karena mereka selalu setia membersamai setiap langkah dan pilihanku. Siapa sangka? Keseriusanku dalam belajar membuat nilai raporku selalu mendapatkan predikat yang memuaskan dan aku juga meraih juara 1 umum di sekolah.
Sampailah aku di penghujung SMA, aku memutuskan memilih perguruan tinggi negeri yang bergengsi. Tak jarang di sekelilingku meragukan pilihanku. Karena menurut mereka aku tidak pantas lulus di Perguruan Tinggi Negeri ternama karena latar belakangku sebagai seorang gadis desa.
Ternyata, kerja kerasku membungkam segala stigma dan pemikiran mereka terkait gadis desa. Menurutku, setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam mewujudkan cita-citanya. Hanya saja perbedaannya adalah mau mencoba atau tidak. Kita bisa dan kita mampu, asalkan melakukan sesuatu versi terbaik diri sendiri bukan orang lain.
Herannya, kenapa mereka selalu menganggap remeh aku karena berasal dari desa? Namun setiap keheranan itu muncul dari diriku, teman dekatku Dini selalu menenangkan ku. Dia mengatakan bahwa tanggapan itu muncul karena mereka iri terhadap pencapaian seseorang. Mereka bukannya tidak bisa, tetapi mereka tidak mau seseorang lebih baik dari dirinya. Ya, mereka adalah geng yang dikenal populer di sekolahku.
Dini selalu memperlakukanku dengan baik. Dia cantik dan juga berhati lembut. Namun, saat kelas 10 semester ganjil aku selalu melihat Dini yang cepat sekali bosan dalam belajar. Bahkan tak jarang, Dini tidur di kelas dan tidak mendengarkan guru menjelaskan. Aku sudah cukup dekat dengan Dini sejak kelas 10. Ketika kejadian itu berulang, aku memberanikan diri meminta Dini untuk lebih rajin lagi dalam belajar agar dia dapat melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Negeri favoritnya dengan jalur undangan.
Awalnya aku khawatir Dini akan sakit hati, tetapi Alhamdulillah dia mau mendengarkanku hingga kami selalu bersama dalam hal belajar maupun bermain-main. Ternyata, Dini bukan tidak mau belajar, tapi dia butuh teman yang bisa memotivasinya untuk bergerak. Aku menyadari bahwa setiap orang pintar, perbedaannya adalah bagi mereka yang mau belajar atau tidak.
Kami dikenal sebagai sosok sahabat yang jenius karena nilai kami selalu tidak jauh berbeda. Aku selalu mendapatkan ranking 1 sedangkan Dini selalu mendapatkan ranking 3.
Teman-teman yang lain kadang bertanya kepadaku, apakah aku tidak takut apabila suatu saat Dini menyalip peringkatku? Tetapi aku tidak mengkhawatirkan itu. Karena bagiku nilai hanyalah angka. Aku senang karena Dini mengalami perubahan dan aku bisa melangkah bersama sahabatku dalam meraih impian.
Aku dan Dini hanyalah melakukan yang terbaik versi diri sendiri. Bukannya tidak peduli dengan tanggapan orang lain, namun setiap orang punya pilihan untuk menyaringnya agar menjadi lebih baik dan bukan sebaliknya. Beruntungnya aku punya sahabat dengan satu pemikiran, bahkan kami selalu menjadikan kalimat ini sebagai motivasi:
“Terbanglah, tanpa mematahkan sayap orang lain.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbanglah Tanpa Mematahkan Sayap Orang Lain
Short StoryRana, seorang gadis desa dengan mimpi besar untuk membuat desaku menjadi tempat yang makmur dan maju. Meskipun dari latar belakang sederhana, aku mengejar pendidikan tinggi dan mengatasi segala rintangan dengan kerja keras. Bersama sahabat dekatku...