Bab 4: Diet Mediterania

110 22 1
                                    

Hari ini rasanya matahari bersinar dengan tingkat kecerahan lebih tinggi dari kemarin. Langit biru dengan awan putih serta angin sepoi yang sejuk. Aku menghela napas penuh kebahagiaan melihat semesta yang hari ini berseri.

"Kenapa lo?" Niscala bertanya sambil berdiri di sisiku yang sedang berada di depan jendela.

"Dunia ini indah," ucapku pelan.

Niscala langsung menjitak kepalaku sambil mengomel. Dia bilang cuaca hari ini dengan suhu 37 derajat bisa dipakai untuk menggoreng telur tanpa kompor. Aku mengusap kepala yang terkena jitakan sambil melirik sebal.

Sahabatku satu ini memang tidak suka dengan sinar matahari berlebih. Hal yang sangat mengherankan karena dia tinggal di negara Khatulistiwa ini. Kuabaikan celotehan laki-laki dengan outfit kemeja dan jeans robek-robek di bagian lutut di sampingku ini.

Aku baru saja mendaftar kompetisi. Akhirnya Gavin berhasil kuperdaya untuk menjadi model. Dia bersedia membantu setelah aku berjanji akan mentraktirnya setiap minggu di tempat manapun yang dia mau. Aku hanya berdoa semoga saja Gavin waras dan tidak menguras isi dompetku seperti lintah haus darah.

"Jadi, lo udah daftar ya?" Tiba-tiba saja Niscala menoleh dan bertanya. Memang, salah satu kelebihan manusia satu ini adalah perubahan mood-nya yang sangat luar biasa. Dalam satu detik, dia bisa berubah dari mode ibu-ibu yang mengomel balik waktu pasang sein kanan tapi belok kiri, menjadi manusia beradap yang sopan.

"Iya. Akhirnya Gavin mau jadi model gue. Tinggal nyusun portofolio, nih. Lo sibuk weekend ini?" tanyaku.

Niscala memang sudah mendaftar kompetisi jauh sebelum aku mendaftar. Dia sudah mulai mengumpulkan portofolio dan pergi ke beberapa pengrajin perhiasan untuk belajar dan mencari tahu tren saat ini.

"Iya. Gue janjian sama Thalia." Niscala berkata dengan nada sombong.

Thalia adalah salah satu nama pengrajin emas dan berlian yang terkenal di Jakarta. Perempuan itu digadang-gadang memiliki insting dalam menentukan bahan baku pembuatan perhiasaan terbaik. Tidak sedikit orang yang mau belajar dari Thalia. Sayangnya, Thalia hanya mau menerima beberapa orang yang belajar darinya. Tentu, itu pun melalui seleksi yang ketat.

"Kok, lo bisa belajar dari Thalia?" tanyaku heran.

Keherananku tentu saja beralasan. Niscala masih berstatus mahasiswa, belum menjadi pengrajin yang memiliki nama. Sahabatku itu tersenyum jumawa saat melihat keheranan yang tentu saja terlihat jelas.

"Kebetulan saudara." Niscala terkekeh.

Jawaban itu tentu saja membuatku refleks menjitak kepala Niscala. Menyebalkan memang orang satu ini. Pantas saja Thalia mau, pasti Niscala sudah menjadi saudara tidak tahu diri yang minta diajari.

"Tapi gue tetap diseleksi dulu, loh, Far. Walaupun saudara, tetep saja Thalia profesional. Duh, susah banget ujiannya. Untungnya dia suka dan tertarik banget sama desain gue yang tema Khatulistiwa itu, Far." Niscala berkata panjang lebar sambil menggandengku menuju kantin.

Tema Khatulistiwa yang menjadi desain kebanggaan Niscala memang sangat cantik. Dia berencana untuk memadukan bahan resin sehingga bisa menciptakan corak marble. Selain itu, tema besar itu bisa dipecah lagi menjadi tema hutan hujan, pegunungan dan laut yang menjadi khas Indonesia.

"Good for you. Gue ikut senang lo dapat mentor yang keren." Aku menepuk bahu Niscala yang tertawa senang mendengar dukunganku.

Kami memasuki kantin yang ramai dengan para mahasiswa. Jam istirahat memang membuat semua sudut di tempat ini penuh. Aku bisa melihat Felicia yang menggerombol bersama temannya di salah satu sudut.

Body, Mind & SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang