Assalamualaikum renicaaa...
Semangat menjalankan hari-hari nyaaa
Tandai TYPOOOO.
****
Hari ini Muhammad Qabil Aiman Al-Husain sedang jalan di sekitar taman dekat dengan rumahnya. Kini Aiman sudah memiliki rumah sendiri hasil kerja sebagai ceo di perusahaan ayah nya yang berada di Jogja. Rumahnya sangat jauh dari rumah ayah Haidar, membuat Aiman sangat mandiri.
Sudah 1 tahun Aiman pergi dari menjauh dari Jakarta dan Bogor, tentu saja dengan izin kedua orang tuanya. Sedangkan adik kesayanganya yaitu Humai sudah menetap tinggal di rumahnya yang berada di pesantren. Kemudian kedua orang taunya memutuskan kembali ke pesantren abah Hamzah. Sangat berat untuk Aiman yang harus berpisah dengan keluarganya, namun dengan berpisah Aiman dapat merasakan kehidupan yang tenang.
Hari semakin gelap, awan putih kian menghilang, serta langit biru sudah tidak terlihat, dengan matahari yang sudah mengalah demi bulan yang ingin bersinar, Aiman masih tetap diam di tengan-tengah taman itu. Merasa air mata yang sudah jatuh dari pelupuk matanya, dibarengi dengan air hujan yang ikut merasakan kesedihan Aiman, Aiman sangat rindu dengan keluarganya. Dengan badan yang masih di guyur hujan, Aiman bangun dari duduknya dan melangkah pergi ke toko penjual payung.
Setelah membeli payung Aiman berjalan keluar dengan lemas, saat Aiman melihat ke arah bangku taman yang ia duduki tadi ternyata terdapat perempuan yang sedang menangis. Merasa tidak tega, Aiman berjalan menghampiri perempuan itu. Saat melihat perempuan tersebut, Aiman sangat terkejut ternyata perempuan yang sedang menangis itu adalah sahabat baik Humai. Melihat itu Aiman berkata, "Sedang apa kamu disini?"
"Hey, jawab saya. Mengapa kamu menangis disini?" tanya Aiman lagi saat perempuan itu tidak menjawab ucapan Aiman.
"Maaf," ujar perempuan itu sembari memeluk Aiman secara tiba-tiba. Aiman yang dipeluk secara tiba-tiba dengan perempuan yang jelas-jelas bukan mahram nya sangat terkejut. Namun saat ingin melepaskan pelukanya, isak tangis perempuan itu semakin deras, sederas hujan malam itu.
Aiman yang dipeluk dengan perempuan itu akhirnya memilih diam dan tidak berbuat apa-apa. Merasa sudah mereda tangis perempuan tersebut, Aiman memberanikan diri untuk melepas pelukan itu. Saat pelukan itu terlepas, Aiman melihat wajah perempuan itu yang penuh dengan lebam disertai mata yang sudah bengkak. Tidak hanya wajah, lengan perempuan itu terlihat banyak sekali lebam yang sudah membiru. Melihat itu semua Aiman sangat terkejut, setelah melihat itu semua Aiman berkata, "Siapa namamu?"
"Maaf," bukanya menjawab pertanyaan Aiman, perempuan itu kembali berkata maaf sembari menundukan kepalanya dan menyembunyikan lengannya.
"Saya tanya, siapa namamu?" ujar Aiman yang masih memegang payung sembari memayungi dirinya sendiri dan perempuan itu.
"A-amira, ustadz," jawab perempuan itu yang bernama Amira.
"Teman Humai?" tanya Aiman sembari mendudukan dirinya di sebelah Amira.
"Betul, ustadz. Maaf ustadz tadi saya tidak sengaja memeluk ustadz, s-sa-saya," ucapan Amira dipotong oleh Aiman.
"Dimana rumah mu?" tanya Aiman memotong kalimat Amira.
"Disana," jawab Amira sembari menunjuk perumahan di sebrang dari perumahan Aiman.
"Saya antar pulang," ujar Aiman yang merasa kasihan dengan Amira.
"Tidak, saya tidak mau ustadz. Disana masih ada monster ustadz, saya ta-takut," jawab Amira yang kembali menangis.
"Dimana ayah kamu?" tanya Aiman.
"Di-dia dirumah, ustadz. Dia sedang berubah menjadi monster ustadz, jangan ketemu ayah, ustadz. Nanti ustadz dipukul ayah, jangan Ustadz, jangan kesana. Disini saja, ustadz," jawab Amira dengan air mata yang kembali deras.
"Berapa nomor rumahmu?" tanya Aiman dengan mata yang tidak berani menatap Amira.
"26 ustadz," jawab Amira yang masih sibuk menghapus air matanya.
"Kamu tunggu dicafe sana, jangan kemana-mana sebelum saya datang," pinta Aiman sembari bangun dari duduknya.
"Ustadz mau kemana?" tanya Amira yang ikut berdiri.
"Sudah, tidak usah membantah. Kamu tunggu disana, tidak usah takut kebetulan cafe itu milik saya, jadi kamu aman disana. Ayo saya antar kesana," jawab Aiman yang sudah ingin merjalan.
"Benar aman disana ustadz?" tanya Amira kembali.
"Iya," jawab Aiman yang tidak di balas lagi oleh Amira.
Melihat Aiman yang sangat serius dengan ucapannya, Amira langsung jalan mendahului Aiman yang mengikutinya dengan tangan yang masih setia memegang payung. Tidak lama, Aiman dan Amira sudah sampai di cafe sebelah toko payung. Sesampainya disana, Aiman berkata kepada salah satu karyawan perempuannya, "Beli-kan dia pakaian ganti dan beri dia minuman hangat. Saya tinggal dulu, tidak akan lama,"
"Baik pak," sahut karyawan perempuan itu.
"Tidak lama kan ustadz?" tanya Amira saat Aiman ingin pergi dari sana.
"Tidak Amira," jawab Aiman yang dibalas anggukan kepala oleh Amira.
Seperginya Aiman, Amira langsung diajak ke kamar tempat istirahat Aiman jika sedang berada di cafe. Kebetulan sebelah cafe terdapat toko pakaian, karyawan Aiman langsung meminta tolong temannya untuk membelikan Amira pakaian. Sesampainya di kamar, Amira terkejut dengan kamar yang tercium wangi tubuh Aiman. Tidak menunggu lama, pakaian datang dan Amira langsung mengganti pakaiannya di kamar mandi. Melihat tubuhnya, Amira kembali menangis. Mendengar tangisan Amira, karyawan Aiman menghampiri kamar mandi dan mengetuknya.
Tok! Tok! Tok!
"Bu, Bu Amira." teriak karyawan yang bernama Sintia itu.
"I-iy-iya," balas Amira di sela-sela menangisnya.
"Saya boleh masuk, Bu?" tanya Sintia dengan sangat khawatir.
"Saya belum pakai kerudung, mba," jawab Amira dengan suara yang bergetar.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya takut ibu kenapa-kenapa, nanti saya yang di marahin Pak Aiman, Bu," ujar Sintia yang masih khawatir.
"Saya saja yang keluar," jawab Amira sembari membuka pintu kamar mandi.
"Baik Bu," sahut Sintia.
Ceklek!
"MasyaAllah Bu, ibu cantik sekali," ucap Sintia saat melihat Amira sekilas.
"Astagfirullah, badan ibu kenapa?" tanya Sintia yang sudah melihat tubuh dan wajah Amira dengan jelas.
"Tidak apa-apa, mba. Panggil aku Amira aja mba," jawab Amira sembari duduk di ranjang Aiman.
"Sebentar saya ambilkan salep dulu, Bu," ujar Sintia sembari berlari.
"Sini Bu, saya oleskan," pinta Sintia yang sudah masuk kembali kedalam kamar.
"Tidak apa-apa, mba. Saya sudah biasa," sahut Amira sembari menyembunyikan lengannya.
"Sini Bu, nanti saya yang di marahi pak Aiman, Bu. Pak Aiman kalau marah serem, Bu," ujar Sintia yang masih merayu Amira.
"Ayo Bu, sini pelan-pelan," ucap Sintia merayu Amira lagi.
"TIDAK." Teriak Amira dengan tidak sengaja.
Brak!
pintu terbuka lebar dan menampilkan Aiman yang sudah berdiri di depan sana. Dengan tubuh yang sedikit basah karena air hujan yang masih turun.
"Ada apa ini," ujar Aiman saat membuka pintu dengan kencang.
"Astagfirullah ustadz, saya sedang tidak menggunakan kerudung," ujar Amira dengan tangan yang menutupi kepalanya.
***
wassalamu'alaikum
vote : 100
komen : 100
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona, Gus Aiman
RomanceBagaimana dengan seorang Gus yang tiba-tiba dipeluk oleh seorang perempuan? Apakah mereka memiliki hubungan? Lalu bagaimana dengan orang tua mereka? Niat ingin menenangkan diri di sebuah taman, lalu ketika sedang menyendiri hujan ikut menemani. Keti...