"Kau bilang Ayahmu mengamuk lagi, kenapa malah kesini?" tanya Andrew
Pria paruh baya itu kembali menyesap teh hijau tanpa gulanya setelah mengeratkan jubah tidur yang biasa ia pakai. Duduk di teras belakang rumah jam 4 pagi bukanlah hobinya, bahkan tadi ia masih bergelung nyaman dalam selimut sebelum pintu rumahnya hampir roboh di dobrak oleh Rafael.
"Pulang dan obati adikmu." ucap Andrew menatap Rafael yang duduk di sampingnya"Jangan sok tau." jawab Rafael singkat
"Riga membutuhkanmu, kau bilang akan menjadi kakak yang berguna."
Rafael mendecih,
"Untuk apa menjadi berguna jika dia sendiri yang menolak bantuanku."Andrew menghela nafas berat, menghadapi Rafael dengan karakter keras yang sama sepertinya memang membutuhkan kesabaran dan kehati-hatian.
"Kau baru sekali mencoba dan sudah menyerah?""Aku terlalu malas berurusan dengan orang yang tak tau diri." jawab Rafael cuek
"Turunkan egomu."
"Kenapa harus?" tanya Rafael gantian menatap Andrew yang kini membuang pandangannya kedepan.
"Kau bilang ingin berubah, tapi menurunkan egomu saja tidak mau."
"Berubah tidaknya seseorang tidak mempunyai korelasi dengan ego. Orang lain saja yang tidak mau menerima ban-
"Perubahan sikap tanpa menurunkan ego adalah bualan semata. Tidak pernah ada sejarahnya kedua hal tersebut bisa berjalan beriringan, pasti ada salah satu yang mengalah." jelas Andrew
"Kenapa harus aku yang mengalah? Aku sudah berniat menolongnya, membantunya, berniat mengobati lukanya, menjauhkannya dari Ayah, malah ditolak. Angkuh sekali."
Andrew kembali menatap Rafael setelah anak itu selesai dengan kalimatnya, kini keduanya saling bertatapan.
"Kau tidak serius mengatai adikmu sendiri kan?""Kenapa tidak?"
"Serius? Rafael, kau mengatai Auriga angkuh?" nada bicara Andrew sedikit naik.
Rafael diam.
"Jika aku menjadi Riga, bahkan aku akan menghajarmu habis-habisan. Tidak tahu apa yang dikatakan adikmu itu sebenarnya, tapi hanya mendengar ceritamu jangan harap aku membelamu."
"Aku tidak berharap"
"Demi Tuhan, Rafael... buang jauh gengsimu, turunkan egomu. Wajar Auriga menolak bantuanmu, menolak niatanmu yang ingin mengobati lukanya. Adikmu pasti bingung dengan perubahan mendadak ini, aku yakin Riga mempertanyakan kenapa baru sekarang kau membantunya"
"Heh..kau cenayang? Aku tidak mengatakannya tapi kau tau dengan tepat apa yang dikatakan Riga." celoteh Rafael santai meninggalkan sopan santun pada Pamannya.
"Semua orang juga akan berpikir seperti itu, Rafa." nada bicara Andrew turun satu oktaf memberikan kesan lembut untuk di dengar.
"Pemikiran klasik yang semua orang punya ketika melihat atau bahkan mengalami hal seperti itu. Coba saja kamu ingat bertahun-tahun hidup satu atap dengan ikatan adik-kakak, berapa kali kamu membantunya? berapa kali mencoba mengobrol dan lebih dekat dengan adikmu? Lalu secara mendadak sikapmu berubah lembut, siapa yang tidak kaget dan bingung?"Andrew menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan,
"Aku jadi penasaran, pernahkah kamu sadar bahwa di sekitarmu ada seseorang yang mengalami kesulitan? seseorang yang bahkan selalu mengelu-elukan namamu, mengidolakanmu, memamerkan keberhasilanmu,
seseorang yang dalam diamnya selalu mendoakan hal-hal baik untukmu, pernahkah kamu melihatnya? Pernahkah kamu melihat sosok adikmu?
..
..
..
Jawab aku, Rafael. Pernahkah kamu melihat Auriga? Melihat dengan hatimu, bukan hanya dengan mata semata? Pernahkah? Jika tidak, kenapa kamu marah dan merasa sia-sia sekarang, yang bahkan baru sekali mencobanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Bintang
Fantasy"Langit harus gelap gulita, agar Sang Bintang bersinar terang" - Auriga Eagan