"Aku sudah menjadi pria yang baik. Kenapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa.
- SLOW UPDATE
- //-
FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!!!!
Sejak kecil, Max selalu ada. Terlalu dekat, terlalu intens, terlalu berbahaya. Ann pikir...
Cerita ini mengandung tema toxic relationship, mental illness, red flag, obsesi, dan stockholm syndrome yang bisa memicu berbagai emosi. Karakter dalam cerita ini tidak sehat secara emosional, penuh manipulasi, dan bertindak di luar batas kewajaran.
Read at your own risk.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Love? No. This is something deeper, darker, an obsession that runs in my veins like poison I can't live without.
— 0 —
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"KAU. Kau milikku. Dan tidak ada orang lain yang akan menjauhkanmu dariku, apa kau tidak mengerti?"
Napas Ann tercekat. Tubuhnya membeku di tempat. Tempat yang seharusnya menjadi perlindungannya kini terasa seperti jebakan. Ia kecolongan.
Bayangan gelap dari masa lalunya telah menerobos masuk. Dan kini, dia ada di sini. Berdiri di hadapannya, mendominasi ruangan dengan kehadiran yang begitu menyesakkan.
Max menatapnya lekat, matanya pekat seperti jurang yang dalam. Jemari panjangnya merayap di pergelangan tangan Ann, dingin dan mencengkeram erat, seolah Ann adalah miliknya. Mutlak.
Namun, bukan kemarahan yang terpancar dari wajah pria itu. Bukan luapan emosi yang tidak terkendali. Justru sebaliknya—Max terlihat tenang. Terlalu tenang. Seolah dunia hanya terdiri dari mereka berdua dan tidak ada hal lain yang lebih penting.
Ann menggigit bibirnya, mencoba menahan ketakutan yang nyaris menghancurkan pertahanannya. Perlahan, menggeleng pelan.
Hening.
Lalu, Max tersenyum. Senyum yang seharusnya menenangkan, tapi justru terasa mengerikan.
"Jangan menguji kesabaranku, Sayang." Suaranya lembut. Terlalu lembut.