Pukul 21.00 malam. Tanggal 1 Mei. Hari buruh. Di depan kafe, tampak lalu lalang para pendemo yang baru saja pulang dari aksi umbar pendapat.
Di tengah ramainya jalan, Amara melihat mobil Reynov mendarat di depan kafe. Tapi ada yang tidak beres. Samar-samar, hanya sedikit tersorot lampu jalan, Amara bisa melihat Reynov sedang bertelepon dengan seseorang di dalam mobil. Tak begitu lama, tiba-tiba ponsel Reynov terjatuh dari genggamannya dan laki-laki itu pingsan. Amara berlari keluar, ia dekati kaca jendela. Tampak Reynov setengah sadar, dan ia lihat tangan kanan Reynov menekan perutnya yang berdarah.
"Reynov!" Amara segera membuka pintu mobil. Ia pegang leher Reynov, mengecek denyut nadinya, serta ia cek bola mata Reynov.
Ponsel Reynov masih tersambung dengan orang yang diteleponnya. Amara melihat nama di telepon itu, Dokter Cassie. Ia dekatkan ponsel itu ke telinganya, dan dokter perempuan itu masih berbicara, "Glock 48 atau apa pun itu, berbahaya! Harus segera dioperasi. Dan operasinya harus di sini karena peralatan medis di sini lebih lengkap."
"Halo? Saya Amara, karyawannya Reynov. Heart rate Reynov sekitar 150 per menit, saturasi oksigen baik. Darahnya keluar terus, dok! Tapi dia sadar, dan bernapas normal! Respon mata, verbal, dan motorik sesuai Glasgow Comma Scale masih baik, mencapai skala 15." Amara mendeskripsikan singkat kondisi Reynov.
"Karyawannya Reynov? Astaga!" Dokter itu kaget. "Oke, jangan sampai dia pingsan. Tekan terus lukanya. Segera bawa dia ke sini!"
Dokter itu mengirim link lokasinya. Amara segera memindahkan Reynov ke kursi penumpang, darah di perut Reynov merembes keluar semakin banyak ketika Amara memapahnya.
"Amara?" Reynov bisa sedikit membuka mata.
"Saya antar kamu ke klinik, ya. Kamu barusan telepon Dokter Cassie, kan? Kita disuruh ke sana!"
"Enggak perlu! Saya bisa sendiri!"
"Dalam kondisi perut ditembak berdarah-darah gini? Udah, saya antar aja!" Amara jengkel.
Sialan! Reynov kesal karena Cassie memberitahu Amara bahwa ini luka tembak.
"Jalanan lagi macet. Banyak orang demo. Saya anterin aja!" Amara memaksa.
"Emang kamu bisa nyetir?"
"Ya bisalah!"
Amara duduk di balik kemudi, dan Amara benar-benar gesit membawa mobil. Ia bahkan tidak ragu menyetir berkecepatan tinggi dengan akurasi tepat ketika menikung dan menyalip di keramaian.
"Kamu sering nyetir?" tanya Reynov heran. Jalanan benar-benar ramai pasca bubarnya demo.
"Kita lewat jalan lainnya aja, kalau jalan yang tadi macet!" Amara tidak menggubris Reynov. Ia fokus pada jalanan, tapi perhatiannya sempat teralihkan pada foto sebuah grup militer berisi lima orang yang tergantung di mobil Reynov. Siapanya Reynov yang anggota militer? batinnya penasaran, tapi ia harus fokus menyetir.
Lantas, hanya dalam 10 menit mereka telah mencapai titik lokasi yang berakhir di sebuah rumah kecil. Amara agak ragu bahwa rumah kecil itu sebuah klinik, hingga seorang perempuan dan seorang laki-laki keluar serta dengan sigap mengevakuasi Reynov menggunakan ranjang roda serta infus.
"Tunggu di sini, ya."
Perempuan berambut pirang yang hanya berkaos dan bercelana pendek itu-yang kemudian Amara sadari dari suaranya adalah Dokter Cassie-mendorong ranjang Reynov menuju sebuah ruangan. Amara sedikit mengintip, ia lihat ruangan itu benar-benar lengkap dengan alat-alat medis seperti di rumah sakit. Padahal dari luar, ini hanya sebuah rumah kecil. Aneh!
Masalah luka Reynov juga aneh. Amara tahu betul, Glock adalah jenis pistol. Melihat luka Reynov yang sedemikian parah ia makin yakin Reynov terkena tembak. Tapi, memangnya siapa di negeri ini yang bisa menembak secara legal? Hanya polisi dan orang-orang tertentu saja, kan, yang punya izin memiliki senjata api. Kenapa Reynov sampai bisa tertembak? Aneh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiasco Kafe (END lengkap)
Teen FictionAmara, mahasiswi drop out yang sekarang menjadi barista di Fiasco Kafe. Ia senang bisa bekerja di sana. Tapi, Reynov si pemilik Kafe mulai mencurigai Amara karena Amara bisa berbahasa Belanda, tahu nama senjata, dan tahu hal-hal medis. Siapa Amara...