Soreku dijalani dengan sangat tenang dan damai. Orang disebelahku adalah penyebabnya. Mas Dian, sosok pria kebanggaan dunia yang dibentuk oleh tuhan begitu sempurnanya, aku bahkan merasa kalau tuhan jatuh cinta pada mas Dian.
Tangan kami yang bersambung diam-diam tidak ingin kulepas, kaki kami yang searah kubiarkan berjalan walaupun peluh lelah, keheningan antara kami berdua tak menganggu karena mata kami sibuk dengan jalanan didepan. Isi pikiran ku selalu tentang mas Dian, dan ku harap begitu sebaliknya.
"Mas, kamu tuh sayang aku nggak, sih?" Seribu kali tanyakan pertanyaan konyol itu, seribu kali juga mas Dian tertawa mendengarnya. "Sayang banget, Han."
Seribu kali juga aku jatuh cinta, lagi.
Kadang aku bingung, kenapa aku selalu rindu dia. Padahal kami tidak jarang bertemu, handphone juga aktif selalu, setiap bertemu tidak pernah sedetikpun aku sia-siakan waktu kami untuk saling menguatkan hubungan. Aku jatuh cinta sekali. Aku sangat jatuh.
"Tapi, Han. Kamu secinta itu sama aku?" Aku tertawa. Genggaman kami kueratkan, sampai tidak kurasakan tubuh mas Dian karena rasanya sudah menyatu denganku. Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku kayaknya mati kalau mas nggak ada." Jawabku dengan nada bercanda, sehingga kurasa mas Dian menganggap candaanku ini tidak penting.
Terhenti langkahnya. Aku menoleh.
"Kita sampai." Katanya, tersenyum indah menatapku. Aku menoleh kembali, kulihat tempat bertemu untuk pertama kalinya, taman bermain kota yang sudah tutup karena akan di renovasi. Kulihat bongkahan rumah tingkat yang berjatuhan dari atas pohon, kulihat ayunan yang bergoyang sendiri dikarenakan angin, kulihat jungkat-jungkit yang sudah rapuh kayunya. Aku menatap parau.
Aku lagi-lagi rindu mas Dian. Dulu kami sering kemari untuk sekedar membicarakan hari-hari sibuk yang menyebalkan. Sosok mas Dian yang ku suka, selalu hadir dalam setiap pembicaraan kami di tempat ini. Awalnya, aku tidak rela kalau tempat ini akan direnovasi, biarkanlah rusak, sudah saatnya, kenapa harus di relakan. Hingga suatu hari mas Dian berkata: kalau tidak di perbaiki, jadinya aku dan kamu sudah nggak bisa main lagi disini, kita harus cari lagi tempat lain dong, aku capek banget tau, Han. Dan, lagi-lagi berkat mas Dian ku ikhlaskan tempat ini.
"Han," panggilnya. Aku menoleh, menatapnya yang menatapku, "sampai sini aja, ya?" Lanjutnya.
Aku terpaku mendengarnya, kuhela napasku panjang.
"Aku salah, Han. Cari tempat baru untuk di nikmati itu nggak bikin capek, kok. Karena, kalau sudah dapat, yang senang juga diri sendiri." Kurasakan genggaman tangan kami yang mulai melonggar, aku tidak menyangka hari ini akan terjadi. "Aku sudah damai, Han."
Kueratkan lagi genggaman kami. Namun, mas Dian melonggarkannya. Ku coba lagi, mas Dian kembali melonggarkannya. "Aku belum bisa, mas."
"Aku nggak kemana-mana, Han. Aku di sisimu, selalu."
Kutatap kembali matanya. "Aku sudah Damai, sekarang giliranmu." Selepas ucapannya, lepas pula genggaman kami. Kali ini tidak bisa kembali ku eratkan. Kali ini tidak bisa kucari, tidak bisa ku raba, tidak bisa ku simpan sendiri. Aku benar soal tuhan yang jatuh cinta pada mas Dian. Cintaku kalah, ya, mas. Kamu damai karena tuhan udah beri kamu yang terbaik, ya. Aku belum boleh kesana, ya?
Saat ini belum bisa rela, tidak tahu kapan, janganlah kau tunggu. Aku selalu benci saat mengingat kepergianmu, kurasakan setiap sakit yang menusuk jantung, perlahan membuat tubuhku juga mati. Tapi, katamu, kamu sudah damai, kan. Dan, kini giliran aku.
Doakan aku damai juga, ya, mas. Aku juga nggak akan kemana-mana, karena kamu selalu disisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe, In Another Time;
Short StoryAku kalau tengah malam nggak sama kamu, ngapain, ya?