Bayang Pengkhianat
Gerimis tipis membasahi trotoar Unter den Linden, mencerminkan lampu neon kafe kecil yang terselip di sudut distrik Mitte. Scarlett duduk di meja pojok, cangkir espresso di tangannya sudah dingin, aroma kopi Prancis bercampur bau aspal basah yang menyelinap dari pintu yang terbuka sesekali. Matanya, setajam bilah pisau, memindai setiap wajah yang masuk—pria dengan mantel basah yang terlalu sering melirik ponselnya, wanita dengan payung merah yang berhenti di depan etalase, pelayan yang menyapu lantai dengan gerakan mekanis. Jari-jarinya, tersembunyi di bawah meja, menggenggam pisau lipat, refleks yang tak pernah pudar sejak lima tahun lalu di pelabuhan Hamburg. Malam itu, agensinya mengkhianatinya, meninggalkannya dengan peluru di bahu dan luka yang lebih dalam di hati. Lukas, dengan mata hijau dan janji cinta, ternyata menjualnya demi kekuasaan. Sejak itu, Scarlett menjadi mata-mata swasta, membangun tembok di sekitar dirinya, bahkan dari timnya sendiri.
Malam ini, misi untuk mencuri data dari server Ethan, raja mafia yang jaringan senjatanya menggurita di Eropa, membuat dadanya sesak. Ia belum pernah bertemu Ethan, tapi namanya seperti duri di pikirannya, menggoda dengan bahaya yang tak bisa ia jelaskan. Apakah itu ketakutan, atau sesuatu yang lebih berbahaya—ketertarikan yang tak masuk akal? Ia mengusir pikiran itu, tapi bayangan pria misterius itu tetap mengintai, seperti aroma mawar yang menempel di udara.
Di earpiece-nya, suara Robin menggerutu dari van yang diparkir di dekat stasiun S-Bahn Friedrichstraße. "Sial, Scar, croissant ini enak banget, harusnya kau yang nyicip," katanya, suaranya terputus-putus oleh derau mesin dan wiper yang berderit. "Antonio yang nyari ini gara-gara kau doyan makanan Prancis. Aku? Aku cuma pengen keluar dari kotak besi ini." Scarlett menahan senyum, tapi nadanya dingin seperti gerimis di luar. "Fokus, Robin. Ini bukan piknik." Ia membayangkan hacker berambut keriting itu, kacamata petaknya berkabut, serpihan croissant nyangkut di kaus band-nya yang lusuh. Tiga tahun lalu, di pasar gelap Lisbon, Scarlett menyelamatkan Robin dari razia polisi. Anak jalanan yang meretas bank untuk makan itu kini jadi tulang punggung tim, tapi Scarlett tak pernah sepenuhnya percaya padanya. Bagaimana jika ia menjual data mereka, seperti Lukas menjualnya?
"Fokus? Gampang ngomong, Scar!" balas Robin, nada sarkastiknya menggema. "Aku lagi ngejar firewall militer yang kayak benteng besi. Serverku udah panas, nih!" Scarlett menggertakkan gigi, kesabaran menipis. "Kalau kau nggak buka pintunya, aku yang kena peluru, bukan laptopmu." Udara di antara mereka terasa seperti badai yang menahan napas, meski terpisah jalanan Berlin. Tiba-tiba, suara Enko, canggung dan terengah, menyela. "Eh, guys, boleh nggak ributnya nanti? Aku lagi nyamar di sini, takut ketahuan!" Scarlett membayangkan pria kurus itu, jas pelayan kebesaran, menyelinap di gedung tinggi di Alexanderplatz, tangannya gemetar memegang nampan. Enko, rekrutan baru yang Scarlett tolak tapi dipaksakan klien, terlalu canggung untuk dunia mata-mata. Trauma Lukas membuatnya curiga—bagaimana jika Enko adalah ular dalam sarang mereka?
"Enko, kalau kau gagal, aku tarik kau keluar dengan tanganku sendiri," bentak Scarlett, tapi ia menarik napas, menenangkan diri. "Kartu aksesnya sudah?" tanyanya, nadanya lebih terkendali. "Hampir, hampir!" jawab Enko, diikuti bunyi nampan bergoyang. "Sial, aku tadi nyaris ngerobohin meja. Pelayan di sini nggak curiga, tapi aku keringetan banget!" Scarlett memutar mata, tapi ada sesuatu dalam nada Enko—terlalu gugup, atau terlalu berakting?—yang membuatnya waspada. Suara Antonio menyela, tenang seperti batu karang. "Fokus, niño. Aku di ruang teknisi. Kamera lantai server mati tujuh menit, mulai sekarang." Antonio, mantan tentara bayaran Spanyol yang Scarlett selamatkan dari penjara Marseille, adalah satu-satunya yang ia hormati. Dua tahun lalu, di sel yang bau darah, Antonio bersumpah akan membayar utangnya dengan nyawa. "Bueno, Antonio," kata Scarlett, suaranya lembut sejenak. "Robin, status?"
Robin mendengus, jari-jarinya menari di keyboard. "Aku udah masuk sistem cadangan. Kalau Enko nggak bikin kacau, kau bisa masuk lima menit lagi." Scarlett meneguk espresso, rasanya pahit seperti firasat yang menggerogoti. Misi ini terasa seperti permainan catur, dan Ethan adalah lawan yang selalu dua langkah di depan. Ia melirik jam tangan taktikalnya—22:45. Waktu bergerak. Ia bangkit, mantel panjangnya menutupi pakaian taktikal hitam yang menyatu dengan bayang-bayang. Udara Berlin, dingin dan bercampur aroma pretzel dari pedagang kaki lima, menyapa wajahnya. Di kejauhan, suara trem yang melintas menambah ritme kota yang tak pernah benar-benar tidur.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Spy
Roman d'amourDi dunia bayangan, cinta bisa jadi senjata paling mematikan. Scarlett-mantan agen rahasia yang dikhianati dan nyaris tewas dalam misi lima tahun lalu-kini hidup sebagai mata-mata swasta, menjalankan operasi berisiko tinggi di kota-kota Eropa. Luka l...