1 - DUNIA MALAM MILIK MEREKA

3 0 0
                                    

Di sela-sela pekerjaannya, biasa Innes merasa bosan saat menunggu tamu selanjutnya, maka dia akan duduk sofa khusus karyawan. Matanya tidak berhenti menatap lima orang lelaki dewasa yang tengah menampilkan aksi bernyanyi sambil menari di panggung. Sudah setahun belakangan Innes melakoni diri sebagai fans mereka. Tidak hanya menonton mereka lewat gawai, Innes bahkan sudah pada tahap membeli album dan pernak pernik yang bersangkutan mereka. Bukan apa, menurut Innes merekalah yang hari-harinya menyelamatkan dan meminta Innes untuk bertahan. Terdengar berlebihan memang, tapi mereka yang bukan fangirling memang tidak akan pernah merasakannya.

"Halo, Nona cantik," Innes langsung mengunci gawainya dan berdiri. Di hadapannya ada seorang lelaki berperawakan 30tahunan. Dengan pakaian santai, Innes tau isi dompetnya tidak sesantai itu.

"Halo, Pak, sudah ada janjian?" Tanya Innes ramah. Dia menyimpan ponselnya dalam laci meja di depannya. Dengan gaya elegan dia berdiri, sedikit membenarkan dressnya yang sedikit tersingkap sehabis duduk, dia menghampiri pria itu.

"Belum ada, Nona." Tanpa segan, pria itu langsung merangkul pinggang ramping Innes. "Kalau saya janjian sama Nona saja, bagaimana? Nona lagi kosong, kan?" Pria itu tampak beberapa kali mengendus sisi leher Innes yang dibiarkan tampak jelas karena rambutnya digelung sembarang.

"Bisa, kita reservasi dulu ya, Pak."

Mereka berdua pun berjalan menuju meja reservasi yang ada. Innes membiarkan pria itu menyelesaikan reservasi, sembari menunggu dia berdiri agak jauh dari sana. Menggigiti kukunya gugup, seperti inilah kebiasaan Innes tiap kali akan digunakan oleh pelanggannya. Dia gugup, takut akan diapakan malam ini. Karena pelanggannya itu dari kalangan paling bawah di strata kelab malam mewah ini. Yang sudah biasa atau memiliki jalur VIP, sudah pasti bukan Innes pendampingnya, karena Innes hanya bocah ingusan yang dititipkan oleh Ibunya yang dulunya primadona di sini.

Tiba-tiba dari arah pintu masuk beberapa orang muncul, meski tempatnya tidak terang, Innes tidak salah mengenali. salah satu dari mereka adalah Hero, idolanya di boygrup The Blues. Lelaki dengan tato itu memang seringkali dirumorkan keluar-masuk kelab malam dan kencan dengan wanita-wanita di sana, tapi baru kali ini Innes benar-benar tau kalo rumor itu benar adanya.

Semakin dekat, Innes semakin jelas melihat perawakan Hero yang tinggi, kedua lengannya yang bertato terlihat jelas karena dia hanya menggunakan sleeveless putih dipadupadankan celana jeans belel. Innes merasakan degup jantungnya menggila. Dalam hati, dia penasaran siapa yang akan menjadi pasangan Hero malam ini, meskipun dia tau itu bukan dirinya, karena dia sudah ditandai oleh Sophian.
"Nona, ayo, cantik," ajakan itu membuat Innes tersadar. Pria bernama Sophian itu merangkulnya mesra dan membawa Innes menuju kamar yang sudah ditetapkan. "Berapa umur kamu, nona?"

"Dua puluh satu, Pak."

"Eitss ... panggil Mas Aan aja, ya." Innes hanya mengangguk. Sesampainya pada kamar itu, Innes langsung berjalan menuju sofa yang ada di sana, melepas heels yang sedari tadi ingin sekali dia copot. Sementara itu Sophian selesai mengunci pintu langsung menghampiri Innes, lebih tepatnya duduk di sampingnya tanpa memberi ruang sedikitpun. "Wanginya." Innes harus menahan geli saat lehernya diendus.

Seusai heels Innes terlepas, Sophian tidak menunggu lagi untuk mencumbu perempuan itu dengan beringas. Ini bukan pertama kali dia harus melayani pria tidak sabaran seperti Sophian, tapi tetap saja rasanya gelagapan. Innes mengerang saat tangan Sophian mulai menggerayangi tubuhnya dengan nakal.

Innes mungkin membenci jalan hidupnya, tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa saat harus terdampar di tempat laknat ini. Dia ingin hidup seperti layaknya perempuan di luar sana mencari pekerjaan halal, pergi ke kantor dengan pakaian rapi bukannya dress yang bahkan sulit menutupi sepertiga dari pahanya. Innes bukan tidak berusaha buat keluar, tapi dia pernah mencoba dan berakhir dengan tubuhnya yang lebam karena mendapat kekerasan saat disuruh kembali. Innes ingat bagaimana rasanya saat itu, dan bahkan jika diingat saja membuat tubuhnya ngilu. Mengerikan. Untuk alasan kenapa dia masih tetap dipertahankan di sini, dia pun belum menemukan jawabannya.

INVISIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang