Chapter II - Tricked

16 8 0
                                    

Scarlett terbangun dengan jantungan, napasnya tersengal seperti burung yang terperangkap. Mimpi buruk itu lagi, selalu sama: pelabuhan Hamburg, angin malam yang membawa aroma garam dan logam, jeritan teman-temannya saat ledakan merobek kegelapan. Di tengah kobaran api, Lukas berdiri, matanya hijau berkilau seperti zamrud yang dingin, senyumnya menusuk seperti pisau sebelum ia lenyap ke dalam kabut. Ia adalah pengkhianat, pria yang memimpin tim ekspedisi mereka—peneliti yang menyelami situs berbahaya—ke dalam jebakan maut. Ledakan itu merenggut nyawa semua orang, kecuali Scarlett, yang terselamatkan dengan luka di bahu dan luka di hati yang tak pernah sembuh. Ketakutan bahwa Lukas akan kembali, untuk mengakhiri apa yang ia mulai, menghantuinya seperti bayang-bayang yang menari di dinding.

Ia duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap wajah, rambut cokelatnya yang panjang kusut menempel di pipi yang basah keringat. Apartemen kecilnya di Prenzlauer Berg terasa sempit pagi ini, dindingnya memantulkan cahaya kelabu dari langit Berlin yang mendung. Aroma gerimis meresap lewat celah jendela, bercampur dengan sisa kopi basi di meja dapur. Scarlett menarik napas, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang, tapi kenangan Hamburg terasa seperti duri yang tertancap di dadanya.

Ponsel di meja samping berdering nyaring, memecah keheningan seperti lonceng yang retak. Scarlett melirik layar, alisnya mengerut melihat sembilan panggilan tak terjawab dari Mia, tetangganya yang selalu penuh semangat. "Apa lagi sekarang?" gumamnya, suaranya serak, seperti daun kering yang bergesekan. Ia meraih ponsel, jari-jarinya yang dingin menggosok leher yang kaku, lalu menekan tombol panggil balik. "Halo, Mia?" katanya, nada ngantuknya bercampur sedikit jengkel. "Maaf, aku baru bangun. Kenapa telepon berkali-kali?"

Suara Mia meledak di ujung sana, seperti kembang api di malam musim panas. "Scarlett! Akhirnya! Kencan semalem sama Ethan kan manis banget? Kalian cocok, lho!" Mia mengoceh tentang kafe kecil yang mereka kunjungi, lilin yang berkedip, dan "vibe romantis" yang ia klaim bisa dirasakan dari kejauhan. Tapi ada sesuatu di nadanya—terlalu antusias, seperti seseorang yang menyembunyikan kartu di lengan baju. "Oh, iya, Ethan bilang dia naksir kamu! Aku kasih nomor teleponmu sama alamat toko bunga. Keren, kan?"

Scarlett membeku, jantungnya seperti terhenti sejenak sebelum melonjak kembali, seperti burung yang menabrak kaca. "Kamu apa?" tanyanya, suaranya tajam, tangannya mencengkeram ponsel hingga buku-buku jarinya memutih. Mia terkikik, tapi tawa itu terdengar gugup, seperti angin yang tersangkut di dedaunan. "Eh, jangan marah, dong. Aku cuma bantu! Ethan orang baik, kok." Intuisi Scarlett menderu, seperti derit pintu tua di rumah kosong. Mia terlalu sembrono, terlalu cepat memberikan informasi pribadi. Apakah ini hanya ulah tetangga yang usil, atau ada kaitannya dengan Lukas, yang ancamannya masih terasa seperti napas dingin di tengkuknya? "Terima kasih, Mia, tapi lain kali tanya dulu," kata Scarlett, nadanya sopan tapi dingin seperti es yang baru mencair. Ia menutup telepon, berdiri di dapur, tangannya masih gemetar, merasa seperti bunga yang diterpa angin badai, rapuh namun berusaha tegak.

-[]-

Pagi Berlin menyapa dengan gerimis lembut, seperti bisikan yang tak pernah usai. Scarlett membuka pintu toko bunga di Potsdamer Platz, lonceng kecil di atas pintu berdenting seperti nada lagu yang patah. Aroma mawar segar, lili, dan tanah basah membelai indranya, seperti pelukan dari dunia yang ia coba panggil rumah. Tapi bagi Scarlett, toko kecil ini, dengan meja kayu penuh buket dan vas kaca yang berkilau, adalah tempat persembunyian—dari Hamburg, dari Lukas, dari dirinya sendiri. Cahaya neon dari kafe di seberang jalan menyelinap lewat jendela, menciptakan mozaik warna di lantai, seperti lukisan yang retak. Ia mengenakan kemeja flanel hijau zaitun yang longgar, celana jeans yang sedikit usang, dan rambut cokelatnya diikat asal, menyembunyikan ketegangan yang mengeras di lehernya.

Scarlett merapikan buket mawar merah, jari-jarinya yang lentur memotong batang dengan gunting kecil, tapi pikirannya adalah lautan yang bergolak. Toko sepi pagi ini, hanya satu pelanggan yang mampir, mengambil karangan krisan lalu pergi dengan langkah tergesa. Perutnya keroncongan, mengingatkannya bahwa ia lupa sarapan, terlalu terjebak dalam bayang-bayang mimpi buruk. Kalau sepi begini, mungkin aku bisa istirahat sebentar, pikirnya, tapi firasat tentang Lukas membuatnya ragu meninggalkan toko. Ia teringat Ethan, pria dari kencan buta semalam—rambut pirangnya yang menangkap cahaya lilin seperti emas cair, mata coklat mudanya yang hangat seperti kayu di perapian, dan senyumnya yang membuat dadanya bergetar seperti kelopak yang disentuh embun. Ia ingin mempercayai kelembutan itu, tapi telepon Mia tadi, dengan nada yang terlalu cerah dan informasi yang tak diminta, membuat intuisinya berbisik: Hati-hati, ada duri di balik mawar.

The SpyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang