Matahari mulai terbenam dari arah barat, menghiasi langit dengan cahaya kemerahan yang menandakan akhir hari. Namun malam yang gelap bukan sekadar penutup, ia adalah bagian dari siklus yang terus berulang.
Masihkah mereka bisa bernafas untuk menyambut hari esok..?
Pertanyaan itu tak akan bisa dijawab oleh siapapun. Takdir hidup dan mati tidak digantungkan pada siapapun karena mereka sendirilah yang menentukan pilihannya, bertahan atau binasa dalam perang ini.
Peristiwa penyerangan oleh pasukan Raja Mordin ke Kerajaan Arcania lebih menyerupai hukuman mati bagi tentaranya sendiri. Pembantaian masal yang dilakukan Remiel meninggalkan trauma mendalam. Mereka yang selamat pun menolak kembali ke tanah petaka, mereka tak sudi mati di tangan sosok seperti Remiel.
Raja Mordin yang mengetahui hal itu murka. Ia menghukum para pasukannya yang ia anggap sebagai pengecut dikarenakan menolak untuk terus berperang melawan Kerajaan Arcania. Tanpa mempedulikan nasib prajuritnya, Raja Mordin memberikan hukuman dengan cara paling keji yakni dengan tak membiarkan satupun dari mereka diizinkan untuk makan.
Seketika itu juga kelaparan meluas kemana-mana. Para prajurit mulai mencuri dan menindas rakyat hanya untuk sesuap makanan. Rakyat Kerajaan Raven yang sejak lama hidup sebagai budak kini juga dipaksa memilih antara tunduk atau mati dianiaya.
Jika mereka berani melawan, para prajurit akan menghukum dengan cara apapun. Disana, nyawa rakyat tak lebih dari alat bagi raja mereka.
Sementara itu, Raja Alaric menyusun strategi untuk memulihkan kejayaan Arcania. Kehadiran Remiel yang tampaknya condong memihak pada mereka membuat rakyat menjadi sedikit lebih tenang. Tapi ketenangan itu masih saja dibayangi ketakutan yang muncul dari kekuatan Remiel sendiri.
Remiel tak pernah menginjakkan kaki di area istana. Ia lebih sering duduk di atas tembok benteng, menatap burung-burung terbang. Terkadang, ia menemani penjaga malam yang berjaga.
Para penjaga disana...
Mereka merasa sangat canggung setiap detiknya."Heheh, apakah kalian tidak takut dengan hantu atau makhluk tak kasat mata lainnya saat berjaga dimalam hari seperti ini?"
Dikala itu Remiel mencoba mencairkan suasana, namun sepertinya itu justru membuat para penjaga itu semakin canggung.
"S- sebenarnya.. tentu saja kami takut."
"Tapi demi keselamatan rakyat Arcania, tentu kami selalu sedia."
Jawab salah satu penjaga dengan suara gemetar.
"Mungkin aku akan merasakan hal yang sama kalau saja aku hidup."
Remiel membalas dengan tawa pelan, suaranya memecah keheningan malam. Para penjaga memaksakan diri agar ikut tertawa, wajah mereka sudah terlihat sangat pucat. Keheningan malam yang biasanya tenang berubah jadi mencekam, semuanya disebabkan karena kehadiran Remiel disana.
Dan Needlo... Kemana perginya dia?
Apakah ia akan meninggalkan semua masalah ini begitu saja dan bersembunyi seperti seekor kura-kura kedalam tempurungnya?
Tentu tidak. Needlo memiliki caranya sendiri dalam bertindak dan berfikir. Ia lebih memilih untuk tetap netral dengan tak berpihak pada siapapun. Sebab jika ia memihak salah satu kubu, maka ia juga akan turut mengotori medan tanah petaka ini dengan darah.
Tujuan Needlo datang ke dunia sangat sederhana tapi mulia, ia hanya ingin menyudahi perang berdarah ini dan menegakkan kembali kemanusiaan yang telah hilang.
Perbedaan prinsip inilah yang bisa jadi bibit kehancuran besar. Kebijaksanaan Needlo tak bisa sejalan dengan Remiel yang memiliki tujuan membasmi semua pemicu perang ini dengan tangannya sendiri. Yang pasti, kiamat bisa saja lahir dari konflik dua makhluk surgawi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karmatic Judgement
FantasyIni bukanlah kisah kepahlawanan, juga bukan dongeng pangeran berkuda. Setiap kata yang tertulis pada kisah ini menyiratkan derita para manusia yang ternistakan oleh kasta. Jeritan sunyi dari hati nurani yang memohon untuk menghapus kepalsuan yang me...