53. Api

84 9 2
                                    

Tadi Seungkwan itu sedang menikmati fase tidur siang. Sudah lama sekali rasanya ia tak bisa berbaring di tempat yang nyaman tanpa harus was-was dengan kondisi selama ekspedisi yang selalu menegangkan. Seluruh badannya terasa remuk, berkat tempat yang nyaman seperti inilah dia baru bisa merehatkan diri.

Anggota lain sibuk. Ada yang memperbaiki kapal, pergi ke sekolah, selebihnya ia tidak tahu. Selesai sarapan dia langsung tidur lagi. Namun, mimpi indahnya tak berlangsung lama karena tiba-tiba Chan masuk, tergesa-gesa menghampirinya.

"Gawat! Gawat!" seru Chan.

Sudah terbiasa dengan kondisi bahaya di saat apapun, Seungkwan langsung bersiap. Segera bangun, berdiri dan menggapai tombak. Menyiapkan serangan sampai mata tombak terbakar dengan api dalam dirinya.

"Apa yang gawat? Kita diserang? Ada apa?"

"Ikut aku!"

Chan berseru. Ia menarik tangan Seungkwan. Seungkwan yang tidak tahu kegentingan apa yang tengah berlaku mengikuti langkah Chan, berjalan cepat menyusuri jalanan setapak desa sambil sesekali menyapa penduduk yang lewat.

Hingga beberapa saat tak merasakan adanya bahaya, Seungkwan mulai curiga dengan sikap Chan. Namun, masih ada setitik rasa percaya yang sampai sekarang ia sesali mengapa masih ia rasakan.

Sekarang Seungkwan menggerutu dengan tatapan kesal mengarah pada Chan yang menebar senyum ramah kepada para ibu penduduk desa. Bisa-bisanya ia tertipu di siang bolong. Alih-alih menjumpai bahaya, sekarang ia malah harus berkutat dengan perkebunan sawi yang diurus oleh penduduk desa ini.

"Ambil ini."

Joshua berhenti di depannya, menyerahkan satu keranjang berisi sawi yang belum penuh. Pria itu kemudian menoleh ke arah lain, menyapa balik warga desa yang memuji tindakannya.

Seungkwan mendengkus. Lupakan waktu tidur siang, dia sudah punya pekerjaan sekarang.

Tak lama terdengar seruan yang berasal dari pintu kebun, seorang remaja pria berlari kecil memasuki area perkebunan sampai langkahnya berhenti di depan kumpulan ibu-ibu yang sedang memanen sawi. Chan yang kebetulan berada di sana berdiri untuk mengetahui sebab seruan tadi.

"Ibu! Ibu! Lihat apa yang kutemukan!"

Orang itu membuka tangkupan tangannya dengan seolah melindungi sesuatu di dalamnya. Orang-orang yang penasaran mendekat.

"Bunga hujan bintang!" Chan yang pertama kali merespon.

Jongho tersenyum, dalam perjalanan kembali dari pantai ia menemukan sehelai kelopak bunga hujan bintang yang warnanya mencolok ini tercecer di jalan.

Lantas Joshua berpikir soal bunga hujan bintang milik mereka yang tersisa satu, seingatnya sudah diamankan di rumah singgah mereka bersama syarat-syarat lain. Ia beransumsi bisa jadi kelopak ini berasal dari bunga hujan bintang yang dibawa oleh Gyuri.

"Dari mana kau mendapatkannya?" seorang wanita paruh baya yang diketahui sebagai ibu Jongho bertanya, ada ekspresi kagum tergambar di wajahnya bisa melihat bentuk bunga itu secara langsung, namun di sisi lain ia juga khawatir karena fungsi bunga ini sangatlah penting. Takut kalau kelopak ini adalah hasil curian.

Jongho berpikir, "aku menemukannya di jalan, tadi aku dan ayah membantu memperbaiki kapal kakak-kakak tamu kita itu lalu aku menemukan ini dalam perjalanan pulang."

Orang yang termasuk dalam bagian 'kakak-kakak tamu' lantas memperhatikan Jongho. Tampaknya perkataan Seungcheol soal warga yang hendak membantu memperbaiki kapal terbukti benar adanya.

"Kita serahkan ke tuan Gyuri saja," balas si ibu.

Saran yang bagus karena rasanya mereka tak punya wewenang untuk menyimpan bunga ini untuk mereka sendiri.

✔Even If The World Ends Tomorrow [SEVENTEEN] Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang