9

2.1K 141 5
                                    

Selama ini, hidup Ellen hanya terpusat kepada Sang kekasih—Fero, raganya memang habis dimakan tanah, namun kenangan tetap ia jaga sepanjang masa.
Mengabaikan cinta baru, demi memelihara hati yang telah dimiliki, walaupun Sang Kekasih telah menduhului.

Bertahun-tahun kepergian Fero menjadi hancur dunianya, meninggalkan harapan yang selalu menghantuinya, hingga pengandaian menjadi senjata tajam untuk tidak menerima ketulusan orang lain.

Sampai hari itu tiba, sesosok pemuda mungil menariknya dalam kegelapan. Senyum itu tak pernah pudar sekalipun ia hanya menunjukkan muka datar, tatapan teduh itu tak pernah gentar membalas pandangan tajamnya.

Hatinya mulai goyah, sekalipun selalu menepis bayang-bayang kepolosan pemuda itu. Waktupun berlalu, takdir kembali mengikat benang merah yang terputus kepada benang baru.

Pemuda itu Elang—suami yang begitu bodoh dan naif yang pernah ia kenal.
Dua puluh tahun lamanya Ellen untuk bisa menyesuaikan kehidupan barunya, hari-harinya diwarnai dengan sikap manis suaminya, tak sekalipun keluhan keluar dari bibir tipisnya.

Elang begitu sabar menghadapinya, walaupun Ellen membalasnya tanpa perasaan, hingga sikap acuh tak acuhnya membuat buah hati--Dion mereka terbaikan dan menyalahkan Elang yang tak salah.

Sekarang Tuhan menyadarkannya, hidup ini bukan hanya tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, melainkan juga berdamai dengan masalalu, dan menerima ketentuan Tuhan.

Bersyukur Tuhan masih memberikannya kesempatan memperbaiki itu semua.
Dua bulan telah berlalu semenjak kejadian naas itu, suaminya masih dalam keadaan yang sama. Rasanya ada hilang darinya, entah kenapa Ellen merindukan semua tentang Elang. Suara yang selalu menyapa lembut, tatapan penuh binar, dan wajah polos yang selalu mengharapkannya mau berdekatan dengannya.

Selama itu pula Ellen membiasakan diri memberikan afeksi yang selama ini Elang harapkan. Tak pernah sekalipun ia jauh dari rumah sakit, menemani sang Suami yang masih betah dalam pejamnya.

Begitu juga dengan Dion, remaja yang mau memasuki dewasa itu, tak mau jauh dari ayahnya. Sesekali ia hanya pulang membawa pakaian ganti, dan kembali menemani Mama mengurus Ayah.

Walaupun demikian, terkadang mereka hanya menunggu di luar setiap kali Launa datang. Hubungan mereka tak sepenuhnya baik, bahkan  Mahendra yg harus turun tangan menengahinya.

Beruntung hari ini, Ellen dan Dion dapat lama menemani Elang di ruang ICU. Tangan mereka menggenggam tangan Elang. Mengusap tubuh yang bertelanjang dada itu tanpa kenal lelah. Setidaknya mereka bisa bernapas lega, melihat dada itu bergerak menarik napas.

Ellen mengusap pipi tirus tanpa rona, menyusuri setiap jengkal wajah yang menirus, hingga sampai pada bibir kering yang dijejali ventilator

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ellen mengusap pipi tirus tanpa rona, menyusuri setiap jengkal wajah yang menirus, hingga sampai pada bibir kering yang dijejali ventilator.

“Kapan bangun, hmmm? Aku kangen loh.” Ellen tersenyum sendu melihat tidak ada respon.

Sementara Dion mengecup tangan yang terkulai nan lemah. “Nggak Mama aja yang kangen, Yah. Aku juga. Nggak kangen apa, Yah, sama kami?”

Tangan yang mereka genggam tiba-tiba membalas genggaman mereka, membuat mereka langsung melihat bergantian.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang