Jam sudah menunjukkan pukul 08.00, Tari masih duduk di kasur seraya memikirkan sesuatu yang dari kemarin mengganggu pikirannya. Kemarin, dia dipanggil atasan untuk dievaluasi, kira-kira seperti ini perkataan beliau : "Kamu disini udah kerja selama tiga bulan, tapi saya liat-liat kurang ada progress ya. Kalau gini terus ya saya harus mikir seribu kali buat mempertahankan kamu." .
Tari memang baru pertama kali bekerja, sebelumnya ia hanyalah seorang mahasiswi ilmu komunikasi yang tidak terlalu aktif dalam kegiatan kampus, hanya kuliah pulang-kuliah pulang, mentok-mentok setelah jam pulang kuliah, nongki di kos bestie sampai menjelang maghrib. Sebagai seorang fresh graduate, dia menyadari bahwa masih butuh banyak bimbingan dari senior-senior di tempatnya bekerja, dan salah satu hal yang mereka sering bilang adalah : jangan baperan.
"Mbak, sarapan! Lauknya udah mateng, nih." panggilan Ibu dari luar kamar membuat Tari tersadar dari lamunan dan segera bangkit dari duduknya. "Ya, bu."
Tari mengambil posisi favoritnya di meja makan, paling pinggir di bagian kanan yang mepet dinding. Hari ini ibu masak oseng pare dan ayam goreng, makanan sederhana yang sumpah enak banget buat dimakan pagi-pagi dengan vibes cukup galau ini.
"Di kerjaan ada masalah, mbak?" Tari mengurungkan niatnya untuk memakan secuil ayam goreng, beralih menatap ibu yang bertanya. "Enggak bu, lancar-lancar aja kok."
Mendengar jawaban Tari, ibu tidak bertanya lebih lanjut lagi, syukurlah. Semenjak bekerja, ibu jadi semakin sering menanyakan keadaan Tari. Semakin perhatian karena beliau menyadari, anak sulungnya mulai memasuki usia dewasa, kehidupannya semakin kompleks, apalagi dia sudah mulai memasuki dunia kerja.
Hari ini hari Jumat, kebetulan pekerjaan Tari saat ini menganut sistem hybrid, di hari Senin dan Kamis dia Work From Office dan di hari Selasa, Rabu, Jumat, dia diperbolehkan Work From Anywhere.
Ayah ikut sarapan ketika Tari sudah selesai dengan makanannya, disusul Kaisar, adik Tari satu-satunya yang baru saja selesai memberi makan ikan di kolam depan.
"Mbak, mas Panji putus sama pacarnya." Kaisar menyomot tempe mendoan sambil duduk di sebelah Tari.
"Sama kak Panca?"
"Iyalah, siapa lagi."
"Lah, orang kemarin mereka habis nge-date kok." sanggah Tari, tiba-tiba ponselnya yang di taruh di atas meja menampilkan notifikasi dari mas Panca yang mengajaknya nongki jam 09.00.
"Ya mana ku tau."
Memang si Kaisar ini kalau ngasih info pasti setengah-setengah.
---------------
Tari masih berusaha mencari scrunchie ketika Kaisar terus-terusan mengetuk pintu kamarnya. "Mbak, udah ditunggu mas Panji di depan woy!"
Untunglah, di ketukan ketiga, dia menemukan scrunchie kesayangannya yang terselip di bawah buku bacaan yang belum sempat diselesaikannya.
Tari membuka pintu kamarnya, berjalan tanpa peduli Kaisar yang ada di tengah pintu."Berisik!"
"Hu, dasar kak Ros." Tari heran, perasaan dia punya sifat yang jauh beda sama kak Ros, tapi Kaisar sering bilang dia mirip kak Ros, atau emang setiap kakak perempuan selalu dianggap seperti kak Ros sama adiknya?
Tari salim kepada Ayah dan Ibu sebelum menghampiri mas Panji yang menunggunya di depan rumah.
"Gas!" Tari langsung mendudukan dirinya di jok belakang, lalu menepuk pundak mas Panji supaya mereka segera berangkat.
"Eh, oke!" mas Panji sedikit kaget karena sebelumnya dia asyik memainkan ponsel tanpa sadar keberadaan Tari.
Mereka berdua menuju kafe yang jaraknya kurang lebih 4,5 km dari rumah Tari. Kafe 86 itu terlihat masih sepi dan baru selesai dibersihkan, terlihat dari genangan air di luar kafe yang belum kering.
Tari langsung mengambil posisi pewe, duduk tepat di sebelah kanan bar lalu segera membuka laptop yang dibawanya, mas Panji langsung memesan kopi untuknya dan untuk dirinya sendiri, lalu langsung menyapa baristanya, kebetulan mereka berdua sering nongki disini, jadi si mas Panji yang ekstrovert itu akrab dengan seluruh pekerja di Kafe 86.
"Keren banget tau Tar, kemarin Mada menang slot 10 juta padahal baru pertama kali main." Mada adalah salah satu barista yang akrab dengan mas Panji. Mas Panji duduk di depan Tari, sambil membawa dua buah cookies favoritnya. "Nih, gue ditraktir sama dia."
"Cookies lo haram anjir berarti."
Mas Panji keliatan sedang berpikir. "Eh, enggak dong, kan yang menang slot Mada, gue dikasih rejeki cookies nih sama dia. Cookiesnya aja halal, nih ada tulisannya, HALAL."
"Serah lu dah."
---------------
"Btw, lo sama kak Panca baik-baik aja kan, mas?" tanya Tari dengan hati-hati. Dia menyeruput pelan-pelan Kopi Latte yang tadi dipesankan oleh mas Panji.
Mas Panji mendongak menatap Tari, dari tadi ia sibuk dengan tabnya, sepertinya sedang menggambar orderan ilustrasi 3D dari kliennya. Tetangga yang terpaut lima rumah dari rumah Tari itu memang seorang ilustrator yang kliennya sudah merambah hingga mancanegara.
"Hmmm, ya gitu deh. Gue kadang bingung aja Tar." mas Panji menjeda sejenak kalimatnya. "Gue udah berusaha jadi pacar yang baik buat dia, tapi menurut dia, gue selalu aja ada kurangnya. Kemarin dia ngajakin putus."
"Alasannya?"
"Gue terlalu friendly."
Tari hampir saja menghamburkan tawanya kalau tidak ingat mas Panji yang lagi galau. "Bukannya dari dulu lo emang friendly, kenapa kak Panca baru mempermasalahkannya sekarang?"
Mas Panji emang definisi mas-mas yang friendly, kelewat friendly malah. Salah satu alasan kenapa Tari kemana-mana sama mas Panji, ya karena dia friendly dan mereka nggak mungkin saling suka. Disamping mereka memang bestie dari kecil, mas Panji emang udah nganggep Tari sebagai adik, jadi dulu Ibu Tari dan Mama mas Panji sahabatan, kuliah bareng dan merantau, hingga sekarang tetanggan dan persahabatan mereka diwariskan ke Tari dan mas Panji.
Back to topic. "Gue juga gatau, cuma kemarin gue emang main sama anak-anak ke club sampai sekitar jam 2. Udah ijin sama dia, dan dia juga ngijinin. Tapi, ada salah satu cewek nih namanya Steffi, upload dan tag gue di story, ya kaya biasanya aja gue repost, eh gataunya malah jadi masalah."
Tari menghela nafas, kasihan juga sama kak Panca yang cowoknya kelewat friendly kaya mas Panji. "Mending lo temuin kak Panca sekarang deh kata gue mah. Biar clear juga."
"Gak bisa, dia lagi ada job di Bali." Jadi kak Panca emang seorang model yang sering kerja di luar kota. Sampai sekarang pun Tari masih heran, cewek secantik kak Panca kok bisa mau sama mas Panji, ya walaupun mantan-mantan mas Panji dulu emang nggak kalah cantik, tapi seorang kak Panca yang baik hatinya dan cantik luar dalam bisa-bisanya kepincut sama mas Panji yang sering flirting sana-sini.
"Yaudah lah, siap-siap diputusin ajalah kalau gitu."
Mas Panji melotot dan menutup laptop Tari tiba-tiba karena kesal. "Jaga omongan lo ya bocil!"
Pak Sam
Tari, jam 3 nanti kita meeting online ya.
Notifikasi dari ponsel Tari membuatnya jadi merasa lesu lagi. Ia sebenarnya mau meminta pendapat mas Panji yang sudah memiliki pengalaman dalam bekerja, tapi mas Panjilah yang lagi butuh didengarkan saat ini.
Tari harus cerita ke siapa?