Alter Ego

2 2 0
                                    

Chapter 19
Alter Ego

"Kamu kenapa sih, John?!" tanya Snow dengan perasaan kesal.

Sudah satu minggu semenjak mereka disibukkan dengan urusan masing-masing. Awalnya wanita berbaju kuning itu mengira jika hari ini mereka dapat mengungkapkan kerinduan yang membelenggu hati. Akan tetapi, sedari tadi pasangannya melamun dan kerap diam kala ditanyai. Snow sudah bertanya dua kali mengenai apa yang terjadi, tetapi pria di depannya memilih untuk bungkam. Karena tidak tahan lagi, ia pun segera mendesak John guna bercerita tentang apa yang mengganggu pikirannya.

"Sayang, kalau ternyata aku beda sama yang kamu pikirin, apa kamu bakal tetep cinta sama aku?" tanya John setelah bungkam beberapa menit.

"Maksudnya apa?"

Pria berjaket jeans itu masih ragu untuk menjawab. Padahal awalnya ia mengira jika cerita kelam yang mengisi hidupnya dapat ditutupi selamanya. John hanya ingin Snow mengetahui hal-hal baik saja. Bahkan setelah berkencan sekian lama, ia sama sekali tidak pernah berniat untuk mengungkapkan jika dirinya pernah dipenjara. Walaupun ia yakin jika masa lalunya tidak akan mempengaruhi perasaan Snow, tetapi tetap saja dirinya selalu dirundung kecemasan. Ia khawatir jika ternyata wanita cantik tersebut akan pergi apabila menemukan kecacatan pada diri adik Liana.

"John, kamu gapapa?" Snow memegang pipi sang kekasih. "Wajah dan tanganmu dingin. Gimana kalau kita pulang aja? Kayaknya kamu butuh istirahat."

"Snow, aku sebenernya ...."

"Ada apa, John?" Ia kembali bertanya saat mitra bicaranya berhenti bertutur.

John pun buru-buru menggenggam kedua tangan sang pujaan hati sembari berkata, "Tolong berjanjilah kalau kamu bakal tetep cinta sama aku, apa pun yang terjadi."

Snow menatap John dengan mata yang seolah dihiasi kabut. Untuk kesekian kali, dirinya lupa jika buta. Setiap kali berada di posisi tersebut, putri Ariadne pasti akan mengira jika dirinya dapat benar-benar melihat pria yang cintainya. Kemudian dengan tersenyum ceria Snow menjawab, "Aku janji."

Sedikit kelegaan kembali dirasakan John. Namun, itu semua tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelahnya, ia mendapat kabar jika akhirnya Snow mendapat lamaran. Meski telah menolak dengan tegas, pihak keluarga pria sama sekali tidak menggubris. Mereka berpikir jika wanita yang seumur hidup hanya berdiam di rumah itu adalah sosok lugu yang tidak mengenal cinta. Mereka berasumsi jika Snow hanya gugup karena pembicaraan penting seperti ini baru terjadi sekali.

Tidak ada siapa pun di rumah yang membela. Tidak pula sang ayah yang bahkan terlalu sibuk untuk menanyakan kabar putri semata wayang. Terlebih Ariadne yang juga menganggap pernikahan adalah jalan terbaik bagi buah hati yang telah memasuki usia dewasa. Dirinya beranggapan kalau Snow membutuhkan sosok pendamping yang bisa menolongnya. Sebab, dengan keterbatasan yang dimiliki, Snow akan kesulitan melakukan banyak hal, terutama memenuhi kebutuhan secara terus-menerus, sementara ibunya juga merasa memiliki kehidupan lain yang menanti. Ia ingin memulai hidup barunya hanya setelah sang putri menikah dan membentuk keluarga sendiri. Berulang kali Snow menjelaskan jika ini bukanlah yang terbaik. Namun, Ariadne terlalu bebal guna memahami situasi.

"Aku udah punya, Ma!" kata Snow. "Aku nggak mau nikah sama orang asing. Aku cuma nikah sama pasangan yang kucintai."

"Snow, berapa kali Mama harus bilang? Cinta itu bakal tumbuh sendirinya kalau udah tinggal bareng!" Ariadne masih saja berusaha memaksakan kehendak pada anaknya.

"Nggak. Aku lebih baik sendiri dulu daripada buru-buru nikah sama orang yang nggak jelas."

"Nggak jelas gimana?" tanya sang janda. "Dia itu calon dokter. Keluarganya bahkan udah buatin tempat praktek sendiri."

"Ma, aku bakal nikah sama orangnya, bukan sama kerjaannya. Lagian aku nggak kekurangan apa-apa sampai harus nikah buru-buru gini."

"Ini anak ngeyel banget. Emang apa yang bisa kamu lakuin sendirian?"

"Aku bisa kerja, Ma. Selama ini aku juga terbiasa apa-apa sendiri. Kenapa Mama tiba-tiba muncul dan maksa aku nikah sih?"

Ariadne memegang pundak sang putri. "Snow, Mama nggak maksa. Mama tahu yang terbaik buatmu. Percayalah, Sayang, ini yang paling kamu butuhin saat ini. Lagian di mana lagi kita bisa nemu cowok dan mertua yang nerima orang kayak kamu."

"Orang kayak aku?" Snow langsung merasa tersinggung. "Apa maksudnya orang kayak aku, Ma? Apa Mama mau bilang kalau mereka udah berbaik hati mau nerima cewek buta, gini?"

"Nggak, kamu tahu bukan itu maksud--"

"Terus apa? Ia menyela perkataan sang ibu. "Cukup, Ma. Kalau Mama emang mau nikah lagi, ya, nikah aja! Aku nggak pernah dan nggak akan pernah ngelarang Mama ngelakuin apa aja. Jadi tolong, hargai keputusanku. Aku nggak mau nikah sama siapa pun saat ini."

"Oke, terus mau sampai kapan kamu sendirian begini? Kalau emang kamu punya pacar, ya, kenalin dong sama Mama. Ngapain kalian pacaran kalau cuma buat main-main?"

"Kami nggak main-main, Ma. John serius sama aku dan dia cinta banget sama aku. Aku juga cinta sama dia."

"John?" Ariadne menyeringai. "Jadi kamu udah berhasil ngasih nama buat cowok khayalanmu?"

Snow tidak habis pikir. Ia bingung bagaimana harus menjelaskan jika dirinya tidak senang berhalusinasi. Tadinya ia ingin menelepon John agar setidaknya mengatakan sesuatu pada sang ibu demi membuktikan eksistensinya. Namun, Snow kembali teringat jika beberapa hari ini saja tingkah laku pacarnya sedikit aneh. Mereka menjadi canggung tiap kali bertemu. Di sana Snow belum tahu jika alasan perubahan John adalah karena ketidakpercayaan diri. Ditambah fakta bahwa saat ini ada pria lain yang hendak memperistri Snow.

"Lihatkan kamu cuma diem. Udahlah, Sayang. Nggak perlu pakai bohong segala."

"Aku beneran nggak bohong," ucap Snow dengan lelah. "Aku bakal kenalin sama Mama kalau waktunya udah tepat."

"Sampai kapan? Jujur aja, Mama nggak pengen kamu sendirian di rumah ini. Gimana kalau kamu kenapa-kenapa. Ingat, Snow, kamu bahkan butuh bantuan orang lain buat masak, ganti baju, dan nganter ke toilet. Apa jadinya kalau kamu sendirian di sini? Mama juga punya kehidupan sendiri. Mama pengen kita sama-sama bahagia dan hidup dengan baik."

"Ma, aku cuma buta, bukan bodoh. Aku yakin aku bisa belajar mandiri pelan-pelan."

Ariadne mendengkus kesal. Ia yang tadinya duduk di samping sang putri pun kini berdiri. "Mama nggak nerima alasan itu. Pokoknya kamu bakal nikah sama cowok pilihan Mama, kecuali kamu bisa buktiin kalau John atau apalah itu beneran nyata dan serius sama kamu."

Like a Snow on the Dry BranchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang