HAPPY READING
Setelah Gibran pergi, Adara masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Pintu depan ia tutup dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan orang rumah. Rumah terasa sunyi, hanya ada suara detak jam dinding di ruang tamu yang menemani. Malam semakin larut, tetapi Adara masih belum merasa ingin tidur.
Dengan cepat, ia meletakkan semua belanjaannya di atas meja. Setelah itu, ia melangkah ke kamarnya, menyalakan lampu meja, dan duduk di kursi belajarnya. Ia menatap sekeliling kamar yang penuh dengan buku, foto-foto kecil, dan beberapa hiasan sederhana. Hawa tenang menyelimuti ruangan itu, seolah memberi waktu baginya untuk merenungkan apa yang baru saja terjadi.
Di atas meja belajarnya, terletak sebuah buku diary berwarna biru tua dengan pita kecil di bagian sampulnya. Buku itu sudah lama menjadi tempat Adara mencurahkan segala isi hatinya. Dengan hati-hati, ia meraih diary tersebut, membuka lembar demi lembar yang dipenuhi tulisan rapi dan coretan ekspresi perasaannya. Di halaman yang masih kosong, Adara berhenti sejenak, menatap kertas putih itu sambil tersenyum kecil.
Perlahan, ia mengeluarkan bunga mawar merah yang diberikan Gibran dari tasnya dan meletakkannya di sebelah buku diary. Setelah itu, ia meraba lehernya, memegang kalung berbandul mawar yang baru saja diberikan Gibran beberapa jam lalu. Jari-jarinya menyentuh liontin kecil itu dengan lembut, seolah berusaha menangkap setiap makna dari pemberian itu.
Adara mengambil pulpen yang tergeletak di sebelah diary, lalu mulai menulis di halaman baru.
Hari ini, Gibran kembali membuatku merasa bingung.
Aku pikir dia akan tetap jadi cowok keras kepala yang enggak pernah peduli sama apa yang gue rasakan. Tapi hari ini, dia berubah. Gibran yang biasanya susah didekati, mendadak datang dan menunjukkan sisi lain dirinya yang lebih lembut. Dia bahkan meminta maaf dan memberiku dua hal yang... entah kenapa, bikin hati gue terasa hangat. Bunga mawar dan kalung ini.
Adara melirik bunga mawar merah yang tergeletak di atas meja. Aromanya yang samar namun menenangkan memenuhi ruang kecil kamarnya.
Bunga ini, dia kasih waktu pertama kali minta maaf. Gue tahu, dia bukan tipe cowok yang pandai menyusun kata-kata indah. Tapi mungkin... lewat bunga ini, dia pengen bilang kalau dia tulus. Kalau dia benar-benar nyesel atas semua hal yang udah dia lakuin dan pengen mulai lagi dari awal.
Adara menatap liontin kalung mawar yang menggantung di lehernya, lalu kembali menulis.
Dan kalung ini...
Gue enggak tahu kenapa dia kasih kalung ini. Apa ini simbol dari sesuatu? Atau mungkin, dia sekadar ingin memberikan sesuatu yang bisa gue bawa setiap hari? Tapi yang jelas, ketika dia memakaikan kalung ini tadi, gue merasa... sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hadiah biasa. Rasanya... seolah-olah dia bilang kalau ini bukan cuma untuk minta maaf, tapi juga untuk menegaskan kalau dia benar-benar ingin berubah.
Kalau dilihat sekilas, bunga mawar dan kalung ini enggak ada hubungannya satu sama lain. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dua benda ini terasa seperti dua sisi yang sama. Bunga mawar yang indah tapi rapuh, dan kalung perak yang kuat tapi sederhana. Mungkin... Gibran pengen bilang kalau dia bisa jadi keduanya? Gue enggak tahu pasti. Tapi yang jelas, malam ini adalah salah satu momen yang enggak akan gue lupakan.
Adara berhenti sejenak, merenung. Matanya beralih ke jendela kamarnya yang menghadap ke halaman kecil di depan rumah. Cahaya bulan masuk melalui celah-celah tirai, memberikan bayangan lembut di meja belajarnya. Dia kembali menatap tulisannya, merasa ada sesuatu yang masih kurang. Sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tapi belum berani ditulis dengan kata-kata.
Perlahan, ia menarik napas panjang, lalu menambahkan satu kalimat di akhir halaman.
Apakah gue mulai... percaya sama Gibran lagi? Mungkin iya. Mungkin, gue ingin memberi dia satu kesempatan lagi.
Setelah menulis itu, Adara menutup bukunya dengan pelan. Ia memandangi sampul biru tua diary-nya sambil mengelus pita yang menghiasinya. Hati kecilnya masih bimbang, tetapi ada sedikit rasa lega setelah ia menuliskan semuanya.
Ia meletakkan buku itu kembali di meja, lalu meraih bunga mawar yang tadi diletakkan di sampingnya. Dengan lembut, ia meletakkan bunga itu di vas kecil di dekat jendela, lalu mengatur posisinya agar bisa terlihat dari tempat tidur. Mungkin bunga ini akan layu dalam beberapa hari, tetapi makna di baliknya akan tetap bertahan lebih lama dari yang ia kira.
Setelah itu, Adara menatap bayangan dirinya di cermin, mengamati kalung mawar yang kini tergantung di lehernya. Meski hanya liontin kecil, entah mengapa, kalung itu terasa begitu berarti. Seolah ia sedang membawa janji yang harus ia percayai, sekaligus kepercayaan yang tidak boleh ia sia-siakan.
“Gibran...” gumamnya pelan, senyum kecil terbentuk di wajahnya.
“Jangan buat gue menyesal untuk percaya sama lo lagi, ya.”
Dengan perasaan campur aduk, Adara akhirnya beranjak ke tempat tidur. Ia memejamkan mata, mengingat kembali senyuman Gibran saat memberikan kalung itu. Senyum yang bukan hanya sebuah permintaan maaf, tapi juga harapan. Harapan untuk sebuah awal baru di antara mereka.
Bersambung...
-JANGAN LUPA DIVOTE YA GUYS-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara Gidara
Teen FictionAdara Bianca & Gibran Narendra adalah kisah tentang pertemuan dua jiwa yang terjalin dalam konflik. Adara, sosok gadis yang sulit percaya dengan orang yang sudah mengecewainya dan Gibran, sosok pemuda yang berjuang untuk mendapatkan hati Adara meski...