Aku tiba di rumah menjelang pukul 5 pagi. Tubuhku terasa lunglai karena terlalu letih. Vitalitas tubuhku memang belum sepenuhnya pulih setelah kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Aku jadi mudah capek, meski kegiatanku biasa saja. Dan apa pun yang terjadi sebelum aku diikat di kamar hotel itu, sekarang aku kelelahan.
Sayangnya, rencanaku untuk langsung tidur sebelum harus pergi bekerja siang nanti terpaksa ditunda. Rumahku seperti kapal pecah. Baju kotorku sudah setinggi Gunung Himalaya bahkan berserakan di sekeliling kamar. Piring kotor menumpuk di wastafel cuci piring, dan debu terasa di kaki sejak aku masuk. Haaah. Rumah ini seolah sudah berbulan-bulan nggak ditinggali. Nggak sepenuhnya salah, karena rumah ini memang belum lama kutempati.
Rumah ini adalah rumah peninggalan ibuku. Meski sederhana, tetap saja rumah ini terlalu besar untuk kutempati sendirian. Jadi, setelah bekerja dan tabunganku cukup, kuputuskan untuk membeli sebuah apartemen studio kecil yang murah, sementara rumah ini kusewakan. Sayangnya, biaya pengobatan kecelakaan kemarin sangat besar meski sebagian sudah ditanggung oleh Jasa Raharja. Aku terpaksa menjual apartemen itu dan kembali ke rumah ini yang kebetulan sudah dua bulan kosong.
"Beres-beres dulu ... atau tidur dulu ...." gumamku, menatap kekacauan rumahku dengan bimbang.
Kalau sudah begini, aku jadi merindukan Tante Linda. Beliau adalah adik kandung ibuku, satu-satunya kerabat yang kupunya. Tante Linda yang merawatku selama aku di rumah sakit dan juga selama berbulan-bulan masa pemulihan setelahnya. Nggak cuma merawatku, Tante Linda juga merawat rumahku. Setelah tujuh bulan menemaniku, dan memastikan kondisiku sudah cukup kuat untuk hidup sendirian, Tante Linda pulang ke Kudus. Nggak bisa kucegah, karena Tante Linda juga punya keluarga yang menunggu kedatangannya.
Kondisiku memang sudah bisa dibilang normal, tetapi daya tahanku masih keteteran untuk kembali ke ritme awal. Dulu aku biasa beberes apartemen sepulang dari shift jaga di Olivier Medical Center. Sekarang sepulang kerja aku hanya sanggup rebahan. Kepada diri sendiri aku berjanji untuk bersih-bersih ketika hari liburku tiba. Namun, sebagai perawat, hari libur itu langka. Sistem kerjaku adalah enam hari kerja dengan satu hari libur--bisa libur dua hari setelah menyelesaikan masing-masing shift 3 kali--dan libur kali ini kuhabiskan untuk membantu Yana mempersiapkan pesta lajang. Wajar bila kemudian rumahku terbengkalai seperti ditinggal pergi berhari-hari.
Setelah pergulatan batin yang cukup berbelit-belit, kuputuskan untuk membereskan rumah dulu. Lagi pula, mana bisa aku tidur nyenyak dengan adanya bau apek pakaian kotor dan bau bacin dari piring-piring kotor di dapur? Baru menjelang pukul delapan pagi aku bisa merebahkan tubuhku di atas kasur. Rasanya seperti surga, tulang-tulangku seolah menghela napas lega. Kulirik jam dinding di atas kaca rias, masih ada beberapa jam lagi sebelum shift-ku mulai pukul 14.00 nanti.
Aku nyaris terlelap sebelum bayangan tentang lobi Nusantara Heritage menyelinap di benakku. Juga pria yang pergi lebih dulu dengan taksi itu. Kata-katanya terngiang lagi di telingaku.
"Tentu saja. Yang satu itu aku yakin sekali. Satu-satunya hal yang kuyakini hari ini."
Mataku terbuka lagi. Aku baru sadar bahwa kata-kata itu sedikit menghina. Apa maksud pria itu? Apa aku seburuk itu sampai dia yakin nggak ada yang terjadi di antara kami? Karena aku sama sekali tidak menarik baginya sehingga "terjadi sesuatu" adalah kemustahilan terbesar di dunia? Enak saja. Aku juga serius ketika berharap nggak terjadi sesuatu di antara kami. Dia memang menarik, tetapi bukan berarti aku lantas akan melempar diriku kepadanya, kan?
Ya, aku paham bahwa rasa kesal ini absurd dan salah alamat, tetapi tetap saja, aku terlelap dengan hati dongkol luar biasa. (*)
"Kenapa lagi sih, Ya? Jalanmu kenapa diseret begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMPUL INGATAN
ChickLitAratrika Rayya terbangun di sebuah kamar hotel dalam kondisi tangan terikat dengan seorang pria asing. Mereka tidak ingat apa yang terjadi semalam dan bagaimana mereka bisa terikat satu sama lain. Belakangan, Rayya mengetahui pria itu bernama Garin...