Prolog

6 1 0
                                    

"Tunggu aku membaik yah cantik, aku kapan pun akan aku ingat janji aku ke kamu, aku akan menepatinya ketika sudah saatnya. Aku cuman butuh fokus aja dengan keadaan juga karir aku."

Gadis berkepang satu itu menghembuskan napas gusar, menatap layar ponsel yang kini telah menjadi saksi atas keputusan seseorang yang selama ini ia perjuangkan.

Dengan pikirkan kecamuk  sembari membalas chat dengan perasaan sedih. Jika boleh, ia tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Egois tapi  ingin rasanya berjuang bahkan berproses dengan sosok pria yang dicintainya.

"Jika itu keputusan kamu aku terima.
Tapi, asal kamu tau dari awal aku tidak pernah melihat kamu dari segi penampilan, pekerjaan ataupun itu. Aku menerima kamu dengan apa adanya.

Kalo ekonomi kamu membaik dan ada orang yang tulus cintanya sama kamu, sama dia aja, carilah perempuan yang menurut kamu itu tidak ribet dan rumit. Kamu berhak buat bahagia."

Ego-nya masih terlalu tinggi. Gadis itu pun memutuskan untuk menyudahi perdebatan lalu memilih untuk pergi keluar dari rumah sekedar mencari udara segar.

"Sama aja kaya yang lain endingnya!" Gumamnya di sepanjang jalan.

Melihat suasana rumah yang tampak tak seperti biasanya, ia segera menghidupkan televisi, duduk dengan nyaman sambil mengemil waffer.

"Tiap hari kerjaan kamu rebahan. Kalo nggak rebahan nonton tv, main hp. Kamu nggak ada niatan buat cari kerjaan, Ai?"

Aira-gadis yang kerap dipanggil Ai- memutar bola matanya malas, mendengar ocehan Tante Ratih yang tiap hari nyinyir membuat telingnya terasa panas.

"Kamu itu kalo di kasih tau nggak pernah dengerin Tante. Liat orang yang seumuran kamu udah jadi PNS, kerja di Bank. Si Dinda aja udah jadi PNS!"

Sudah Aira tebak alurnya. Tante Ratih hanya membanding-bandingkan anaknya denganku. Malas jika harus meladeni orang seperti dia. Aku pun hanya tersenyum menampilkan deretan gigi putih.

"Ai udah ngelamar ke semua perusahaan kok Tante tapi belum kepanggil aja," tuturnya malas.

"Kerja di kantor Om kamu aja, dia lagi cari pegawai tapi kamu mau jadi OB?" cetusnya dengan wajah yang sangat ngeselin.

"Tante repot-repot banget cariin Ai pekerjaan. Lagian, uang Bunda sama Abi masih banyak kok, nggak apa-apa jadi beban dulu toh Bunda nggak keberatan kalo Ai masih jadi pengangguran," jawabnya dengan santai.

"Kamu ini jadi beban keluarga kok bangga? Orang tua kamu nggak selamanya nafkahi kamu,"

Aira hanya mendengus masam. Gadis itu jelas tau, lagian siapa juga yang mau jadi beban keluarga? Cuman Allah aja yang belum kabulkan doa-nya buat bisa kerja.

"Iya Tante." Ia pun beranjak menghindar dari ocehan Tante Ratih yang sebentar lagi akan membanga-banggakan Dinda, anaknya lagi.

"Anak zaman sekarang kalo di nasehatin masuk telinga kanan keluar telinga kiri."

Ucapan Tante Ratih masih bisa Aira dengar tapi gadis itu abaikan saja dan terus pergi keluar rumah mencari udara segar.

"Udah jadi PNS aja bangga. Liat nanti gue jadi istri milyarder biar syok satu keluarganya!" cetusnya sesekali menendang batu jalanan dengan santai.

"Ai!"

Merasa terpanggil Aira menoleh lantas melambaikan tangannya ketika Laras-sahabatnya datang dari arah luar kompleks.

"Ngapain lu ngoceh sepanjang jalan?"

"Biasa, tante gue rempong ngurusin kehidupan gue."

"Tante Ratih lagi ada di rumah?"

Aira mengangguk lalu mereka pun kini melangkahkan kakinya menuju taman kompleks yang terlihat sepi.

"Lu sendiri kenapa ada di sini?" tanya Aira heran.

"Males gue di rumah, bokap nyokap gue ribut terus."

Aira mengangguk mengerti. "Setelah lulus sekolah, lu nggak mau ada niatan lanjut atau nggak kerja?"

"Gue niatnya mau langsung kerja sambil kuliah biar pikiran gue lebih sibuk daripada mikirin rumah tangga orang tua gue. Kalo lu sendiri?"

"Gue bingung mau kuliah atau kerja, yah?" sahut Aira bimbing lalu netra matanya menangkap sosok yang amat dia kenali.

Aira bangkit lalu menghampiri. Laras sontak terkejut segera mengejar.

"Candra?"

"Candra?!"

Dua kali Aira menyebut namanya hingga sosok pria tinggi itu menoleh terbelalak melihat kehadiran Aira berada di kompleks ini.

"Ai?"

"Ini yang maksud kamu mau fokus kerja? Ini yang kamu ngomong akan tepati janji ke Ai?!"

Laras memegangi kedua bahu Aira yang tampak bergetar, Laras pun menatap tajam pada Candra.

"Lu brengsek, Can!" sarkas Laras sembari menatap seorang gadis manis di samping Candra dengan tatapan sendu.

"Maafkan aku, Ai. Aku ... aku akan menjelaskannya, Candra nggak salah," ujar seorang gadis yang berada di samping Candra.

Aira melirik sinis lalu menggeleng pelan. "Cukup sampai di sini kalian berdua buat luka gue semakin dalam. Kita pulang, Laras!"

Laras pun mengangguk tapi sebelum pergi gadis itu memberikan tamparan keras pada wajah Candra. "Anggap aja gue mewakili perasaan Ai buat nampar lu!" ketusnya, Laras benar-benar dibuat kesal dengan Candra.

Di tempat lain, Aira mencoba untuk tidak menangisi Candra. Laras pun berusaha untuk menghibur sahabatnya yang tengah patah hati.

"Gue mandiri, Gue tulus cuman minusnya gue trust issue. Susah buat gue percaya sama orang. Bener kata yang lo bilang, gue emang percaya cinta tapi gue nggak percaya ada orang yang cinta sama gue,"

Aira tersenyum tipis sembari menatap lurus pandangan ke depan. "Bagi gue, cukup seperti ini. Cinta di kehidupan gue udah padam sejak dulu. Sama halnya gue suka warna hitam tapi gue benci kehidupan gue yang hitam."

"Tapi, apa lo mau jatuh cinta lagi?"

"Nggak tau. Gue muak kalo menyangkut perasaan."

"Ai, kalo semisalnya nanti ada yang datang ke lo nawarin cinta. Falling in love, gitu, respon lo apa?"

"Kalo dia bertahan sama sikap gue, memperjuangin gue dari awal sampai akhir, nggak cuma boom love doang di awal terus di akhir malah boring. Mungkin gue bisa mempertimbangkan lagi."

"Apa yang buat lu bisa berpikir seperti ini, Ai?" Laras kini ikut berdiri di samping Ai, gadis itu turut menatap indahnya pemandangan pantai dari atas bukit batu.

"Apa karena orang yang waktu itu lo temui di jalan? Karena Candra lu jadinya milih mati rasa?"

"Entahlah. Tapi intinya gue nggak mau berurusan dengan perasaan. Lo tau, dulu gue pernah bego, sebego itu gue perjuangin dia tapi apa? Lo tau balasannya sama kaya pria bajingan di luaran sana!"

Laras paham dengan apa yang telah Aira alami di masa lalu. Perasaan yang tulus dihancurkan begitu saja tanpa permisi. Hal itu membuat pandangan seorang Aira pada cinta menjadi tak peduli.

Dan cerita itu dimulai dari MPLS sekolah menengah atas. Sebelum akhirnya merasakan sakit hati yang luar biasa perihnya.

Hello Candra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang