Liverpool, 21 Desember 2034
Walikota Stanley Forster Davidson dipastikan meninggal setelah insiden pemberotakan massal yang terjadi di seluruh penjuru kota. Berbagai kericuhan, pembakaran, aksi vandalisme, dan gerakan radikal gencar terjadi. Kota itu berubah menjadi lautan api yang telah membumihanguskan kekuasaan Stanley.
Tetapi bukan hanya itu yang membuat kasus ini menjadi buah bibir di seluruh Britania Raya. Berdasarkan pernyataan dari para penyelidik, yang menjadi dalang pembunuhan Stanley tidak bersumber dari para demonstran.
"Sesuai dengan pengamatan, kami sama sekali tidak menemukan tanda-tanda perlawanan apapun baik di TKP maupun sekitarnya, termasuk jasad walikota. Pada tubuhnya, yang kami temukan hanyalah luka karena satu tusukan pisau di dadanya dan luka memar di kepala bagian belakang karena terbentur ke lantai. Kami menduga bahwa ini bukanlah percobaan kekerasan, ini adalah murni pembunuhan. Normalnya, kalaupun pemberontakan ini yang menyebabkan walikota menjadi korban, seharusnya luka yang didapatkan pasti lebih banyak." Para penyelidik mengemukakan hipotesisnya di berita nasional.
Setelah kemunculan berita itu, tentu seluruh penduduk di Britania Raya terkejut. Bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa anaknya sendiri yang menjadi pelaku. Namun, rumor itu langsung diverifikasi tidak valid karena putra satu-satunya, Ethan Lewis Davidson, dikabarkan meninggal 17 menit sebelum ayahnya.
Tidak berhenti di situ, ada satu lagi rumor yang bermunculan dari kematian walikota Liverpool tersebut. Masyarakat mengira bahwa yang menjadi dalang dari pembunuhan ini adalah anak dari salah satu simpanannya. Stanley dikenal sebagai penguasa yang korup, serta haus akan kekuasaan dan wanita. Terpilihnya Stanley sebagai walikota, Liverpool tidak menunjukkan etis politiknya dengan baik. Maka tidak heran kabar burung tersebut dengan mudah menyebar luas.
Sampai saat ini, pihak yang berwenang masih melakukan pencarian lebih lanjut mengenai kasus pembunuhan walikota tersebut.
5 tahun setelah kejadian itu....
"Jadi, sampai sekarang kau masih kesulitan?" Tanya psikolog.
"Sesuatu telah hilang dari mataku. Waktuku tidak banyak." Wajah pasien itu sedikit murung.
Pasien itu mencoba menyalakan rokoknya. Belum sempat mencoba hisapan pertama, tangan psikolog itu meraih rokoknya dan melemparnya ke tempat sampah.
"Kau tahu? Kita sudah terlalu merusak lapisan ozon. Jangan memperparahnya lagi," tegas si psikolog. Lalu dia mengambil pulpen di kantongnya, entah apa yang akan dia catat.
Pasien itu hanya bisa bernafas berat, matanya tampak seperti mayat hidup.
"2 tahun yang lalu, ya? Untuk rinciannya aku sudah mengerti. Kau tidak perlu terikat dengan perasaan tanggung jawab itu." Psikolog itu menatap pasiennya dengan penuh ketenangan.
"Aku tidak memiliki apa-apa sekarang. Memangnya aku benar-benar harus melanjutkan hidup, kah? Yah, apapun yang kukatakan tidak akan merubah apa-apa." Sekali lagi pasien itu menarik nafasnya dalam-dalam.
"Kuakui ini tidak akan mudah. Tapi jika kau butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungiku." Si psikolog itu memberikan nomor kontaknya.
Lalu pasien itu segera pergi. "Terima kasih, Tuan James."
Psikolog hanya membalasnya dengan senyuman hangat.
.......
Ruangan konsultasi kembali jadi ruangan yang sunyi, seolah ruangan itu terisolasi dari dunia luar. Psikolog itu, tidak....maksudku, James. Dia termenung di balkon lantai 2, menikmati pelukan angin malam dan bermandikan cahaya temaram dari bulan setengah rupa. Tangan kanannya memegang rokok, tangan kiri memegang sebuah foto. Dalam foto itu ada gambar seorang wanita paruh baya dengan baju yang sedikit lusuh.
James menghisap rokoknya dan melepaskan asapnya ke langit. Wajahnya tiba-tiba menjadi kaku seperti mengancam bintang-bintang itu.
"SiaPa yaNg tELah MemBunUh iBuKu.....?"
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Torment
Mystery / Thriller'James Osborn', seorang psikolog yang telah membantu banyak orang, kini menjalani kehidupan yang mengerikan setelah mencoba mencari tahu mengenai pembunuhan ibunya yang sudah lama terjadi. Bagaimana pria semata wayang itu akan bertahan hidup?