"Masih marah padaku?" Suara berat Mingi tiba-tiba memecah keheningan perpustakaan, membuat San yang sedang berusaha membaca ensiklopedia tersentak.
"Aku sudah bilang, jangan ganggu aku, Gi," jawab San tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku, meskipun sebenarnya ia tidak benar-benar membaca. Pikirannya masih berkecamuk akibat insiden di taman kampus tadi siang.
"Aku tidak bisa diam saja. Aku tidak ingin kita bertengkar terlalu lama," ujar Mingi sambil duduk di kursi sebelah San. Wajahnya masih menyimpan bekas pukulan San, ada sedikit lebam di sudut bibirnya, tetapi Mingi tampaknya tidak peduli.
"Bertengkar? Kau pikir ini masalah kecil? Kau menciptakan drama di depan Jongho," kata San dengan suara rendah namun tajam, tak ingin menarik perhatian mahasiswa lain di perpustakaan. "Apa kau ingin membuatku terlihat aneh di depan teman-temanku?"
Mingi menatap San dengan serius, matanya menyiratkan rasa bersalah. "Aku minta maaf, San. Aku tahu seharusnya tidak seperti itu, tapi aku tidak tahan melihat dia menyentuhmu, berbicara denganmu seolah-olah hanya dia yang penting untukmu."
San akhirnya mendongak dari bukunya, menatap Mingi dengan tatapan tajam. "Kau tahu betapa ribetnya ini untukku? Kau tidak bisa mengendalikan emosimu di depan orang lain. Jika mereka tahu kita bertunangan, segalanya bisa berantakan."
"Kau pikir aku tidak tahu itu?" potong Mingi dengan suara yang terdengar frustrasi. "Aku juga tidak pernah meminta dijodohkan denganmu, San. Tapi kenyataannya, kita dijodohkan, dan aku tidak bisa berpura-pura tidak peduli setiap kali ada orang lain mendekatimu."
San terdiam. Dia tahu Mingi benar, tetapi semua ini hanya membuat kepalanya semakin berat. "Aku mengerti. Tetapi jika kau tidak bisa menahan diri, kau akan menghancurkan semua yang kita coba lindungi."
Mingi menundukkan kepala, suaranya melunak. "Aku berjanji akan lebih berhati-hati, San. Aku hanya... aku tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan semua ini tanpa membuatmu semakin kesal padaku."
Ada jeda panjang sebelum San akhirnya membuka mulut lagi. "Aku tidak benci padamu," katanya, menghela napas panjang. Tangannya secara refleks mengusap halaman buku. "Aku hanya lelah dengan situasi ini. Semua serba salah, dan tidak ada yang tahu apa yang kita rasakan. Kau bukan satu-satunya yang merasakan ini."
Mingi mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan San. "Kalau begitu, kenapa kita tidak mencoba untuk lebih jujur satu sama lain? Mungkin itu bisa membuat kita lebih kuat."
San tidak tahu harus menjawab apa. Dia benci jika Mingi benar, tetapi kata-kata Mingi memang mengena.
"Aku serius, San. Aku tidak akan meninggalkanmu. Dan meskipun kita tidak bisa memberi tahu dunia tentang hubungan ini, aku ingin kau tahu satu hal," lanjut Mingi, nadanya lebih lembut. "Aku mencintaimu. Dengan sungguh-sungguh."
San terdiam. Kata-kata Mingi terdengar begitu tulus, terlalu tulus hingga membuatnya bingung harus bereaksi bagaimana. Ia menundukkan kepala, menatap meja di depannya. "Aku... aku juga mencintaimu," jawabnya pelan, hampir berbisik.
Mingi tersenyum kecil, senyum yang akhirnya terlihat tulus setelah insiden tadi siang. "Aku tahu ini sulit untukmu."
San akhirnya mengangguk pelan. "Tapi kita harus lebih berhati-hati. Tidak ada yang boleh tahu, kau mengerti?"
Mingi mengangguk tegas. "Aku mengerti, San. Aku tidak ingin membuatmu kesulitan lagi."
Mereka terdiam sebentar, menikmati momen tenang di tengah keheningan perpustakaan. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. San merasakan tangan Mingi perlahan menyentuh jemarinya di bawah meja.
"Apa yang kau lakukan?" bisik San sambil menarik tangannya, pipinya memerah.
Mingi terkekeh pelan, suaranya dalam tetapi genit. "Aku hanya ingin memegang tanganmu. Salah?"
San mendengus pelan. "Di perpustakaan. Kau tidak waras? Mau menjadi berita kampus?"
"Tidak ada yang melihat. Lagi pula, aku merindukanmu. Tidak boleh?" Mingi memiringkan kepala, tatapannya penuh canda. Tetapi di balik semua itu, ada kesungguhan dalam mata Mingi.
San hanya bisa menggelengkan kepala, tetapi ia tidak sepenuhnya menolak. Ia merasa senang Mingi ada di sana. San bisa mengandalkan Mingi—meskipun laki-laki itu kadang terlalu impulsif.
Mingi akhirnya berdiri dari kursinya, tetapi sebelum pergi, ia membungkuk ke arah San dan berbisik di telinganya, "Nanti malam aku akan ke tempatmu. Jangan lupa kunci pintu."
San langsung memutar bola matanya, tetapi ia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
Malamnya, San hampir melupakan kejadian di perpustakaan. Ia sedang tiduran di kamarnya, lampu utama telah dimatikan, hanya lampu meja yang menyala redup.
Tiba-tiba, ada ketukan pelan di pintu. San tahu siapa yang ada di balik pintu itu bahkan sebelum ia membukanya.
"Kau benar-benar nekat?" tanya San begitu ia membuka pintu, dan benar saja, Mingi berdiri di sana dengan hoodie hitam yang hampir menutupi wajahnya.
"Aku bilang aku akan ke sini, bukan?" Mingi masuk tanpa menunggu ajakan, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. "Apa aku harus meminta izin untuk bertemu tunanganku sendiri?"
San mendengus sambil duduk di pinggir ranjangnya. "Jika kau membuat keributan dan ketahuan, aku tidak akan bertanggung jawab."
Mingi tersenyum kecil sambil duduk di sebelah San. Ia meraih tangan San, menggenggamnya dengan hangat. "Aku tidak akan membuat keributan. Aku hanya ingin berbicara... atau lebih dari itu, jika kau mengizinkan."
San mengangkat alis. "Kau benar-benar tidak tahu malu, ya?"
"Bukan soal tidak tahu malu, tetapi aku tahu apa yang aku inginkan," jawab Mingi dengan suara rendah yang terdengar terlalu menggoda.
San merasa udara di kamarnya tiba-tiba berubah. Ia tahu Mingi serius, dan itu membuat dadanya berdegup lebih kencang.
"Kau tidak lelah membuatku pusing?" tanya San pelan, tetapi ia tidak benar-benar menolak saat Mingi mendekat, jaraknya hanya beberapa sentimeter dari wajahnya.
"Aku tidak ingin membuatmu pusing, San. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu," bisik Mingi, suaranya rendah dan serak.
San tidak sempat menjawab sebelum Mingi mendekat lebih jauh, mengecup lembut bibirnya. Ciuman itu awalnya pelan, tetapi semakin dalam, semakin intens. San merasa dirinya kehilangan kontrol, tenggelam dalam sentuhan Mingi yang begitu hangat dan menenangkan.
Mingi menarik San lebih dekat, tangannya menyusuri pinggang San dengan lembut tetapi penuh keyakinan. Bibirnya mulai turun ke leher San, mengecup perlahan kulitnya yang halus.
"M-Mingi...," suara San terdengar bergetar, setengah menahan tetapi juga setengah menyerah pada sensasi yang dirasakannya.
Mingi tersenyum kecil di antara ciumannya, lalu melanjutkan mengecup leher San, sesekali menggigit ringan yang membuat San tidak bisa menahan lenguhan pelan. "Kau tahu tidak, suaramu seperti ini membuatku semakin gila," gumam Mingi, suaranya terdengar serak tetapi penuh hasrat.
San menggigit bibirnya, mencoba menahan suara yang keluar, tetapi usahanya sia-sia. Mingi tahu apa yang ia lakukan, dan San tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Hanya ada mereka berdua, tanpa beban, tanpa rahasia yang harus disembunyikan dari dunia.
Mereka membiarkan diri mereka larut, melupakan dunia luar, menikmati kehangatan.
![](https://img.wattpad.com/cover/247225736-288-k89193.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanficSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456