SATU

71 13 6
                                    

Cerita baru, minta vote nya kak :)

️☂




Ctass

Ctass

Entah bagaimana bentuk punggung pemuda yang sudah terjatuh dengan kedua lutut menjadi tumpuannya sekarang. Tak ada erangan, ringisan, ataupun tangisan, tak juga melawan atas apa yang ia terima sekarang.

Grey Mahatma, iris pemuda itu hanya memejam. Menikmati sengatan panas yang dihasilkan oleh cambukan sang ayah yang sudah berlangsung lumayan lama.

Sudah seperti kewajiban, jika amarah Redy sedang memuncak, Grey menjadi tempat pelampiasannya. Menyiksa Grey sudah seperti keharusan untuk Redy.

Sedangkan di balik pintu, gedoran brutal dari putra sulung Redy, Albiru Putra masih terdengar. Seolah tuli akan tangisan puteranya, Redy masih berambisi untuk melenyapkan Grey malam ini juga.

Entah di mana akal sehat Redy, Grey darah dagingnya, jerih payah dirinya dengan Jingga-sang istri-setelah sekian tahun tak mendapat keturunan sebelum mengadopsi Biru.

"Papa, buka pintunya! Papa!"

Di sana, Biru masih berusaha menyelamatkan adiknya dari kegilaan sang papa.

"Papa, Grey bisa mati kalo papa terus-terusan siksa dia! Papa!"

"Biru gak akan maafin papa!"

"Biru bakal benci papa!"

"Sekarang buka pintunya!"

Seperti mantra, suara yang mulai melemah dari Biru menghipnotis Redy. Tangan yang akan kembali mengayunkan gasper tersebut terhenti di udara. Redy dengan panik berlari keluar, membuka pintu dengan brutal dan sudah menemukan Biru yang tergeletak bersandar pada tembok sebelah pintu kamarnya.

Grey bangkit perlahan, bibirnya kini tersungging sebuah senyuman.

"Makasih, papa."

Grey tidak pernah marah, melawan ataupun membenci Redy. Karena, dengan dirinya yang terus di siksa, Grey merasa bahagia, setidaknya ia masih mendapat perhatian dari sang ayah. Meski dengan cara yang salah.

Biru melangkah tertatih dengan inhaler digenggaman. Tadi, setelah dirinya anfal dan berujung tak sadarkan diri, Redy membopongnya ke kamar, menungguinya hingga Biru kembali sadar.

Biru segera masuk saat melihat pintu kamar Grey masih terbuka. Di sana, mbak Ratih sedang mengobati luka di punggung Grey, luka yang bertambah banyak karena empat hari yang lalu Grey juga baru saja mendapat cambukan dari Redy.

"Mbak, biar aku aja yang ngobatin," ujar Biru yang berada dibelakang mereka.

Grey yang menghadap ke dinding berdecak begitu keras, seolah tak suka kehadiran Biru di kamarnya. "Terusin aja mbak," titah Grey.

"Mbak, biar Biru aja."

"Terusin Mbak."

"Mbak-"

Mbak Ratih yang tak sanggup lagi mendengar perdebatan antara dua saudara ini akhirnya berdiri. "Udah mas Grey, ketimbang eyel-eyelan, biar mas Biru saja yang obatin. Nanti teh angetnya saya bawa ke sini ya."

Grey tak menjawab, tubuhnya masih menghadap dinding dengan punggung telanjangnya.

"Makasih Mbak," ucap Biru tulus.

Setelah Mbak Ratih keluar, Biru menggantikan posisi asisten rumah tangganya tadi.

"Masih belum puas udah ngambil semua perhatian papa, sampe lo juga harus caper sama gue? Apa yang mau lo capai sih, Ru?" tanya Grey jengah. Namun tak menolak pengobatan yang sedang Biru lakukan.

Biru bergeming, memilih fokus pada luka Grey yang tampak sangat parah. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya tubuh Grey saat ini. Bagaimana jika itu terjadi padanya.

Pertanyaan Grey tak mendapat jawaban hingga Biru selesai melakukan tugasnya. "Udah selesai, kalo masih sakit besok gak usah sekolah Grey. Tapi gue yakin ini emang sakit sih," cakap Biru dengan kekehan diakhir, bermaksud mencairkan suasana yang canggung diantara dirinya dan sang adik.

Grey masih setia dalam diamnya, pun dengan tubuhnya yang masih belum mau berbalik kearah Biru.

"Gue minta maaf, seharusnya gue yang dapetin ini kan?"

"Grey,"

"Keluar, Ru.

Belum sempat Biru membalas, tarikan kencang pada bahunya membuat Biru terkejut. " Papa."

"Keluar Biru, ngapain kamu ngurusin anak yang bawa kesialan di keluarga kita. Kamu juga masih sakit, pikirin diri kamu sendiri, dia aja gak pernah mikir keadaan orang lain. Dari awal, dia sudah terlahir egois," tutur Redy begitu menyakitkan ditelinga siapa saja yang mendengarnya.

Grey masih tetap bergeming, anak itu tetap diam.

"Lo denger 'kan? Keluar dari kamar gue, Biru." ucap Grey dengan setiap tekanan pada katanya.

Redy terkekeh sinis. "Dia kakakmu, setidaknya belajarlah sopan santun. Bilang terimakasih pada orang yang sudah menolongmu, jika bukan karena Biru, mungkin malam ini kamu sudah menjadi almarhum," murka Redy yang melihat Grey tak mempunyai sopan santun kepada yang lebih tua.

"Papa! Stop, udah. Jangan bicara yang akan membuat papa menyesal di kemudian hari." Biru sedikit berteriak kearah Redy, membuat Grey tertawa dibuatnya.

"Gak usah drama, Ru. Seneng kan lo dibelaiin sama bokap gue? Seneng kan udah rebut semuanya dari gue. Di sini gue yang anak kandung, tapi perlakuan papa ke gue layaknya orangtua tiri," ungkap Grey dengan suara lirih diakhir kalimat.

Tangan Redy sudah terangkat untuk ia layangkan tamparan pada pipi Grey. Namun, pelukan dari Biru membuat Redy mengurungkan niatnya.

"Papa udah, Biru mohon. Grey anak papa, sadar Pa." decit Biru memohon.

"Tampar aja Pa, atau mau cambuk aku lagi. Ayo, perut aku masih mulus, masih bisa nerima cambukan papa. Silahkan, Pa." Kepala Grey terangkat, seolah menantang dengan berani papanya.

"Anak kurang ajar!" Redy sudah akan mendorong Biru dari tubuhnya, tapi Biru sekuat tenaga menahan untuk tetap memeluk sang papa.

"Papa, Biru sesek. Papa udah." Biru mengeluarkan kalimat yang bisa membuat emosi Redy kepada Grey meredam, Biru terpaksa melakukannya.

"Biru sesek, ayo, ke kamar ayo." Sudah dapat dipastikan reaksi apa yang akan Redy keluarkan jika melihat Biru kesakitan.

Seketika, fokus Redy hanya tertuju kepada Biru, hanya Biru, tanpa ada warna abu di sana.

"Makasih, Pa."

Lagi, kalimat itu yang Grey keluarkan saat melihat sang papa memapah Biru untuk keluar dari kamarnya. Setidaknya, debat dengan papa, membuat Grey bisa berkomunikasi dengan lelaki yang selalu menjadi pahlawan dihatinya. Meski dengan cara yang salah.


















𝘉𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘰 𝘳𝘢𝘮𝘦 🤍

Untuk GreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang