Voteee!!
☂
Biru sudah berada didepan kamar Grey. Pemuda yang lebih tua dua tahun tersebut sudah berancang-ancang akan mengetuk pintu berwarna putih milik adiknya. Namun, tepukan di bahu membuat tangan Biru tertahan di udara.
"Mau ngapain?" Itu suara Redy. Sangat lembut tanpa ada nada menggebu seperti saat berbicara dengan Grey.
"Mau bangunin Grey, Pa. Ini udah jam enam," jawab Biru tanpa takut. Karena ia tau, papanya tidak akan pernah memarahinya.
"Gak usah, ayo turun. Kita sarapan. Dia nanti juga bangun sendiri, terserah juga mau sekolah apa enggak," sahutan Redy membuat Grey menggeleng.
"Papa, kemarin malem Papa udah janji 'kan sama Biru. Papa bukan pembohong 'kan?"
Redy terlihat pasrah, menghembuskan napas panjang melalui hidungnya. Sejurus kemudian, pria tersebut mengangguk, mengiyakan permintaan sang anak sulung. "Setelah itu turun, papa tunggu di bawah."
Tentu saja raut sumringah dari Biru membuat Redy turut tersenyum. Sebelum pergi ke bawah, tangan pria paruh baya itu menyempatkan untuk mengusap sayang pucuk kepala Biru.
Dalam hati Biru selalu berdoa, semoga perseteruan dan kesalahpahaman antara Grey serta Redy cepat terselesaikan, meski harus mengorbankan dirinya sendiri.
Tangan Biru sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar Grey, namun tak kunjung terbuka juga. Takut Grey yang akan terlambat ke sekolah, Biru dengan lancang masuk ke kamar bernuansa seperti nama si pemilik. Abu tua.
"Grey ...."
Biru melihat pergerakan dari dalam selimut, juga dengan suara lirih yang dihasilkan dari sana.
"Grey? Lo gak sekolah?"
"Nanti aku telpon lagi ya, kasih ke bunda cepet hp nya," gumam Grey dari balik selimut. Tak lama, pemuda jangkung dengan kulit seputih susu itu menyibak selimut setelah mematikan sambungan teleponnya. Kemudian menatap tak suka kepada manusia yang mengganggu aktivitasnya tadi.
"Apa?" respon Grey dengan ketus.
"Tadi siapa? Cewek lo?" tanya Biru penasaran, bibirnya tak kuasa untuk tersungging.
Grey berdecak tak suka. "Lo ngapain sih?"
Biru meringis mendengar bentakan adiknya. Sepertinya Grey tidak mau privasinya terganggu, apalagi Biru yang menganggunya.
"Udah jam enam lebih, lo gak sekolah?"
"Iya, udah keluar sana."
Biru tak lagi membalas, hanya tersenyum menanggapi keketusan Grey.
"Ru,"
Langkah Biru terhenti saat namanya di panggil. Pemuda itu masih memasang senyum, malah sekarang makin melebar. Grey bergidik, takut jika bibir Biru akan robek sampai ke telinga.
"Lo ngapa dah?" tanya Grey ngeri.
"Ada apa?"
"Itu, pintu tutup lagi. Jangan lupa," ketus Grey masih dengan tatapan tak bersahabat.
Kini senyum Biru berganti menyeringai. "Kalo gue gak mau?" Biru lantas berlari tanpa mengindahkan suruan dari Grey tadi.
"Bangsat emang!" Dua buah bantal Grey layangkan kearah pintu, membuat Biru yang masih menghadap ke belakang menjadi tergelak.
Senang sekali menggoda Grey sepagi ini.
☂
Grey menapaki anak tangga dengan pelan, terdengar suara obrolan diselingi canda tawa antara Biru dan juga Redy. Ah, andai dirinya bergabung di sana, andai Jingga-sang mama-tak terlalu cepat menghadap Tuhan, dan andai-andai lain di kepala Grey yang mulai berkecamuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Grey
Fanfiction"𝙼𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚋𝚒𝚕𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚕𝚞𝚊𝚛𝚐𝚊 𝚝𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚎𝚕𝚞𝚑 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚑, 𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚕𝚞𝚊𝚛𝚐𝚊 𝚝𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝 𝚕𝚊𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚕𝚞𝚔𝚊."