Prolog

6 3 0
                                    

Radhiya Pradibta

Jika cinta dan perjuanganku tak kau anggap abadi, maka biar dia abadi dalam tulisanku sendiri.

Sebelum untaian kalimat itu tercipta, aku pernah menjadi seseorang yang sangat menginginkannya. Seseorang yang pernah berniat dengan tulus untuk mencintai dengan segala indah dan kurangnya. Seorang remaja yang begitu bahagia saat tahu sebuah perjalanan cinta baru saja dimulai.

Sebelum untaian kalimat itu tercipta, aku pernah menjadi seseorang yang sangat berhati-hati menjaga perasaan ini. Aku pernah menjadi seseorang yang begitu memaknai sekecil apapun perlakuannya padaku, bahkan mematahkan aturanku sendiri hanya untuk mencintainya dengan cara yang dia inginkan.

Dan saat kalimat itu tercipta, kini aku sudah berada pada masa dimana aku harus merelakan setiap kenangan yang pernah kami rangkai bersama. Merelakan tiap-tiap keinginan yang harus ikut pupus di dalamnya. Menghentikan begitu banyak harapan. Membiarkannya membawaku pada titik duka, karena usaha terakhir yang dapat kuberikan dalam mencintai adalah dengan mempersilahkannya pergi, mencapai apa yang sebenarnya dia inginkan.

Aku tidak pernah sama sekali menyesali segalanya. Mengikhlaskan pada apa yang telah hilang dari diriku karena begitu kuat dalam memperjuangkannya. Sebab seperti apa yang telah kuniatkan sejak awal, aku hanya ingin mencintai dia setulus yang kumampu.

Dari perjalanan ini, kudapat begitu banyak pelajaran berharga. Telah kutemukan diriku dengan berbagai warnanya. Mulai dari aku pada titik terendah dalam hidupku, hingga aku yang telah berhasil melewati lika-liku sambil meromantisasi tiap-tiap waktu. Yang baik boleh diambil, sebaiknya buang semua hal buruk yang ada di dalamnya.

Satu hal yang masih menjadi pertanyaan dikepalaku selama ini adalah...

Apakah semua ini sebanding?

bersambung.

Pagi Menuju PetangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang