Tugas Kelompok
Alarmku berdering pukul 3 pagi, tepat setelah ketukan pintu terdengar nyaring ditelingaku. Aku bangkit dari kasur ternyaman seraya tanganku mematikan bising alarm sebelum keponakanku mendengar, menghindari amukannya. Kubuka pintu dan seperti biasa Umi yang tengah menurunkan belanjaan dari motor menjadi pemandangan pertama yang kulihat.
Bisa dibilang ini adalah runitinasku bersamanya. Setiap pukul 3 pagi aku akan bangun untuk membantu Umi mempersiapkan warung sayur kecil-kecilan milik keluarga kami di depan gang. Tadinya, Umi mengerjakan hal ini bersama Ayah. Tapi setelah beliau meninggal, aku jadi merasa punya tanggung jawab juga dalam membantu mengurus mata pencarian kami itu.
"Kamu mau bawa bekal apa nanti ke sekolah, Neng?" Neng, salah satu panggilan sayang darinya. Berasal dari bahasa Sunda, bahasa asalku.
Aku meraih satu persatu kantong kresek berisi belanjaan yang akan dijual kembali pagi nanti. Meletakkan dan menyusunnya ke depan teras rumah untuk dikemas rencengan sebelum akhirnya diangkut ke warung. Tanganku sibuk, begitupun kepalaku yang tak hentinya berpikir. Kira-kira lauk makan siang apa yang bisa kuajukan untuk jam istirahat sekolah nanti?
"Rolade goreng aja kali, ya?" Si labil ini malah balik bertanya.
"Itu lagi? Emang nggak bosen?" Umi memastikan. Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Entahlah, kurasa aku adalah tipikal orang yang kalau sudah nyaman dengan suatu hal, pasti akan itu-itu terus yang kupilih. Aku jarang merasa bosan.
"Enggak." Umi mengangguk lantas memberikanku sekantong rolade ayam. Akan kugoreng nanti sambil bersiap untuk ke sekolah.
Omong-omong, ini tahun terakhirku di Sekolah Menengah Kejuruan, bahkan hanya tersisa 6 bulanan lagi kurasa. Aku belum memutuskan akan lanjut kuliah atau langsung bekerja. Namun, melihat kondisi Umi yang sudah tidak sesegar dulu membuat pemikiranku lebih condong bahwa aku akan gap year kuliah dan memilih untuk bekerja terlebih dulu.
Oh, ya, aku bersekolah di SMK Negeri 5 Jakarta. Mengambil kelas Broadcasting karena itu satu-satunya jurusan yang dapat kuterima jika dibandingkan dangan jurusan lain yang ada di sekolah tersebut.
Jujur, aku benar-benar menikmati bersekolah di sana. Ya, walau banyak rintangan. Tetapi karena tempat tersebut adalah tujuanku, jadi rasanya menyenangkan saja melalui banyak hari dengan mengemban pendidikan disana.
Tidak cukup hanya bersekolah. Pun aku aktif di beberapa organisasi seperti pencak silat, organisasi wajib jurusan broadcasting yaitu ekskul film, dan aku juga merupakan kepala divisi keagamaan di Organisasi Siswa Intra Sekolah alias OSIS.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 dan aku baru saja selesai membantu Umi mengangkut serta menyusun dagangan di warung. Aku bergegas pamit kembali ke rumah untuk bersiap sekolah. Butuh waktu 5 menit untuk sampai ke sana. Lumayan dekat dan cukup sehat untuk sekiranya dipakai jalan pagi. Umi tidak ikut pulang ke rumah. Biasanya dia akan salat dan bersiap di warung setelah itu langsung lanjut berdagang.
Aku masuk ke dalam rumah, menyapu lantai sebentar, kemudian menuju ke kamar mandi. Tepat setelah selesai, azan berkumandang. Sebagai umat muslim, pun aku melaksanakan kewajiban salat subuh. Tidak lupa mandi untuk membersihkan diri terlebih dulu.
"Bibi masak apa?" Ujar keponakan lelakiku, Ferdian yang baru saja bangun dari tidurnya. Semenjak Ibu dari anak itu, alias Kakak Perempuanku menikah lagi dengan suami keduanya, dia memutuskan untuk tidak membawa Ferdian karena satu dan lain hal. Alhasil, sekarang segala hal menyangkut Ferdian menjadi tanggung jawab Umi, dan aku tentunya.
"Rolade goreng. Kamu mau nggak buat bawa bekal ke sekolah juga?"
"Ya udah, mau. Lima ya, Bi." Ujarnya seraya mengucek mata dan berjalan menuju kamar mandi. Omong-omong, panggilan Bibi itu sama halnya dengan Tante dalam bahasa daerahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pagi Menuju Petang
Teen FictionRadhiya Pradibta adalah gadis yang selalu dikenal baik, tidak pernah aneh-aneh, bahkan memilih hidup jauh dari sorotan khalayak. Namun, suatu keadaan berhasil merubah seratus delapan puluh derajat pandangan tersebut setelah dia mengizinkan seorang l...