Ku sandarkan punggungku dan menjadi lemas untuk beberapa detik, bulir-bulir keringat yang menetes di kening ku usap dengan punggung tangan. Aku tidak sanggup lagi melanjutkan pelajaran olahraga untuk hari ini lantaran rasa lelah sudah menguasai sekujur badan.
Ini cukup menjengkelkan mengingat bagaimana Pak Kim harus menceracau saat aku meminta izin. Semua mata anak-anak kelas jelas tertuju padaku, dan aku benci menjadi pusat perhatian. Terlepas bagaimana dia berceloteh, menghabiskan waktu dua menit hanya untuk marah-marah, pada akhirnya Pak Kim memperbolehkan ku untuk menghilangkan rasa penat.
Mungkin dia sadar wajahku yang pucat—ya, karena Yumi yang memberitahukannya padaku.
Satu botol air mineral kemasan langsung tandas kuteguk habis. Setelah itu, ku perhatikan siswi perempuan di kelas yang saling berebut bola basket satu sama lain. Sementara untuk anak laki-laki mengikuti pelajaran olahraga diluar ruangan.
Kuakui bahwa aku memang lemah ketika dihadapkan dengan aktivitas fisik yang berat.
Menghabiskan waktu untuk menekur, pandanganku nyaris kosong karena termenung. Tapi tidak berlangsung lama, sebab aku melihat bola basket jatuh tepat mengenai kepala Haerin.
Aku mendengar kegaduhan, beberapa dari mereka mengerubungi tubuh Haerin yang terduduk lemas sembari merintih memegangi keningnya yang sakit.
Ku pandangi dari jauh, tak berminat untuk mendekat. Bagaimanapun juga, aku sedang berusaha untuk meminimalisir sosialisasi dengannya.
Pak Kim ikut mendekat, memeriksa dengan lekat dahi Haerin yang sudah memunculkan warna ungu kehijauan. Itu pasti sakit, aku mendengar benturan yang cukup keras tadi, menyentak lamunanku dengan cepat.
"Jiyeon, tolong antar Haerin ke ruang UKS."
Apa?
Bagaimana bisa Pak Kim mengatakan itu dengan wajah tenang, memerintahiku yang termangu atas frasa dari titahannya barusan.
Aku sedang berusaha menghindarinya—jadi, ayolah.
Salah satu dari temanku menuntun Haerin berjalan mendekat. Skema yang sudah ku susun dengan apik harus hancur berantakan disela-sela pelajaran olahraga. Aku tidak mempunyai argumen yang berbobot untuk dilontarkan, dan menjadi alasan valid yang dapat menolak mandat absolut Pak Kim. Pria itu pemarah, dan aku tidak ingin dia ada di sesi 2 untuk menceramahiku.
Aku lekas menggantikan posisi untuk memandu tubuh Haerin setelah mengucapkan terima kasih kepada Kyungra—gadis yang sebelumnya memapah Haerin ke arahku.
Pun sebelum aku enyah dari sana menuntut setiap langkah Haerin, aku dapat melihat gurat wajah Yumi yang melempar senyum.
"Kau baik-baik saja?" Aku bertanya disela perjalanan kami, ditengah lorong sekolah yang lengang.
Kudengar ringisan kecil dari mulutnya. Aku mendapati gelengan sebagai respons. "Tidak, aku pusing."
"Sebaiknya kita cepat!" suruhku. "Kau harus istirahat setelah ini."
Haerin menurutiku. Mengikuti ritme dari pergerakan tungkaiku yang dipercepat dengan sengaja. Tangan Haerin yang semula menutup keningnya yang menjadi sasaran bola basket, dibiarkannya menggantung di sisi tubuhnya. Pada saat itu, aku merubah ekspresi muka lantaran terkejut luar biasa.
"Haerin, keningmu bengkak," tandasku.
Ku percepat langkah kami, mengajak Haerin untuk berlari kecil karena kami hampir sampai. Setelahnya, aku mendorong pintu, membiarkan Haerin masuk terlebih dahulu. Aku mendengarnya mengucapkan terima kasih, pelan, nyaris menyerupai bisikan.
Selesai menutup pintu, aku mendekatinya yang terduduk di sisi ranjang tidur.
"Tidurlah, Haerin." Kutepuk sisi ranjang yang kosong tiga kali. Aku menghitung dalam hati. "Aku akan memberikanmu kompresan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall ✔
FanficKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...