Bagian 3: Keluarga Mama

36 22 1
                                    

Shinta berjalan mengelilingi kamar lamanya. Rasa rindu semerbak di dalam hatinya. Ia terus berkeliling kamar bernuansa biru laut cerah itu. Saat ia berkeliling matanya tak sengaja menangkap sebuah foto keluarga kecil disana. Ia kira foto itu sudah di buang atau di simpan, ternyata masih pada tempat nya persis seperti 6 tahun lalu saat ia dan papa nya meninggalkan rumah ini.

Shinta mengelus foto yang berbingkai putih dengan mutiara mutiara kecil di samping bingkai foto itu sebagai hiasan. Rasa rindunya semakin tinggi kala mengelus foto keluarga kecilnya dahulu kala. Terlihat senyum bahagia kedua orang tuanya dengan sang ibu yang menggendong Shinta di depan seekor lumba-lumba. Ingatan Shinta seolah flasback ke masa lalu di mana keluarga nya masih damai, tentram, dan belum terpecah-belah.

"Mama, papa. Shinta rindu kalian yang dahulu. Shinta rindu keluarga utuh Shinta. Shinta juga rindu rasa berkumpul bersama seperti dahulu," ujar Shinta dan tak terasa air mata Shinta keluar begitu saja.

Ceklek

Tiba-tiba terdapat suara seseorang membuka pintu. Shinta menengok, lalu mendapati Bi Marni yang membawa sebuah nampan dengan pudding rasa stroberi di atasnya dan milkshake coklat dengan toping es krim di atasnya.

"Eh non kenapa? Maaf ya Bibi tiba-tiba buka pintunya, takutnya non Shinta kenapa kenapa karena tadi bi Mirna panggil gak ada sahutan nya," ucap Bi Mirna tak enak diri.

"Shinta gak papa Bi, cuma keingat mama sama papa dulu waktu masih bisa kumpul-kumpul", ujar Shinta.

Bi Mirna langsung buru-buru menaruh nampan nya di atas meja belajar Shinta. Lalu langsung memeluk Shinta dengan penuh kehangatan.

"Non Shinta sabar ya, ini sudah takdir Tuhan non. Walaupun keluarga non Shinta gak seperti dulu, tapi non Shinta harus tetap bertahan ya. Non Shinta harus buktiin juga ke mama sama papa non Shinta kalau bisa bahagiakan mereka walaupun gak bisa bersatu lagi," ujar bi Mirna.

Shinta tersenyum tipis mendengar nasehat ART nya itu dan mengangguk kecil.
"Oh iya ini bibi bikin pudding stroberi sama milkshake coklat kesukaan non Shinta", ucap bi Mirna dengan melepaskan dekapan nya. Kemudian mengambil nampan yang ia bawa tadi untuk diberikan kepada Shinta.

Shinta yang melihat itu langsung menghapus air matanya, dan menetralkan kembali nafas serta suasana hatinya.
"Wah, bibi makasih ya"
"Iya non, ini juga sambutan kecil-kecilan dari bibi buat non Shinta. Em non bibi boleh tanya sesuatu?"
"Iya bi tanya aja", ujar Shinta sambil memakan pudding stroberi nya.
"Itu di dahi non Shinta kok di plester. Non gak di kasih kekerasan kan di keluarga papa non", ucap bi Mirna

Shinta memegang plester di dahinya. Tadi memang Shinta terburu buru datang kemari, bahkan perban dari rumah sakit juga baru di lepas hari ini, di ganti dengan plester ini untuk melindungi lukanya dari infeksi.

Shinta sedikit ragu untuk memberitahu bahwa ia habis kecelakaan, apakah ia harus memberitahu bi Mirna soal ini? Tapi lukanya ini sudah hampir sembuh. Shinta mengambil nafas lalu menghembuskan nya. Dan Shinta berbicara kembali.

"Engga lah bi. Papa gak mungkin melakukan hal seperti itu. Ini juga karena kecerobohan Shinta kok bi, gak hati-hati saat menyebrang," ucap Shinta.
"Jangan bilang kalau non Shinta habis kecelakaan," tebak bi Mirna.
Shinta sedikit tersenyum kikuk untuk menjawabnya
"Eee y-ya bisa di bilang seperti itu bi," tutur Shinta kikuk.
"Ya ampun non.. Kok bisa sih, terus pelaku yang nabrak tanggungjawab kan"
"Iya bi, udah ketemu pelakunya, dan udah tanggungjawab juga buat bantuin pengobatan Shinta selama 4 hari di rumah sakit," jelas Shinta.

Sebenarnya biaya rumah sakit ini itu di tanggung oleh Gavrin, karena pelakunya juga belum di temukan. Ya namanya tabrak lari kan. Apalagi di saat warga datang, sang pelaku telah melarikan diri. Shinta hanya berpura-pura saja jika pelakunya telah di temukan, karena tak ingin bi Mirna khawatir dan marah nanti nya. Mungkin ia akan berkata seperti itu jika sang mama juga bertanya.

"Terus non Shinta sudah beritahu nyonya tentang kejadian ini?, " tanya bi Mirna.
Shinta mengangguk "Mama tahu kok bi, tadi juga awalnya mama mau jemput ke rumah sakit, tapi gak bisa karena mama masih banyak kerjaan. Jadi ya, tadi di antar sama temen", jelas Shinta yang masih berpura-pura agar bi Mirna tak khawatir.

"Syukur lah kalau non Shinta punya temen yang baik, yang mau antar non ke sini," ujar bi Mirna.
"Oh ya tadi bibi katanya mau cerita, ayo cerita bi. Gimana ayah," tutur Shinta. Ia sangat penasaran keadaan papa tirinya atau yang biasa ia panggil 'ayah' itu. Karena biasanya selalu berada di rumah, sebab pekerjaan nya juga dapat di lakukan di rumah, tapi untuk saat ini kenapa tak ada disini. Jadi, Shinta sangat penasaran.

Bi Mirna sedikit merubah ekspresi nya menjadi ragu. Mungkin bi Mirna ragu untuk menceritakan tentang ayah Shinta.
"Gimana bi? Kok diam saja", ucap Shinta.
"Em jadi begini non. Tuan Angga, ayah non. Su-sudah meninggal dunia," ucap bi Mirna. Setelah berucap seperti itu, dapat bi Mirna lihat ekspresi Shinta yang amat sangat terkejut.
"Kapan bi meninggal nya? Terus Dinda gimana?," tanya Shinta beruntut kepada bi Mirna.

"Meninggal nya baru saja non, sekitar 5 bulan lalu. Kalau non Dinda sekarang sudah bisa bersosialisasi kembali," jelas bi Mirna.
"Ya ampun, kenapa gak ada yang memberitahu hal ini", ucap Shinta.
Bi Mirna lantas berekspresi bingung, karena seingat nya keluarga papa Shinta sudah di beritahu hal ini.

"Em tapi non kelu--" ucap bi Mirna terpotong karena mendengar suara seorang gadis kecil dari luar rumah.

"Bibi Dinda sudah pulang," teriak Dinda.
"Bibi baru di kamar non Shinta, non Dinda," balas bi Mirna.
Adinda pun langsung melangkah kan kakinya ke kamar Shinta.
"Bibi kenapa ke sini, kan kak Shinta gak di--"
"OMAGAAT! KAK SHINTA!" teriak terkejut Adinda.
Shinta yang mendengar teriakan itu langsung tersenyum lembut "h-halo Dinda kakak disini, " ucap Shinta.

Adinda langsung memeluk Shinta lama sekali. Shinta kaget dengan tingkah adik sambung nya ini. Jadi Adinda ini anak kandung dari mama dan ayahnya.

"Kamu kenapa jarang kesini lagi kak! Sumpah kangen banget aku", ujar Adinda. Walaupun Adinda ini bukan saudara kandung Shinta, tapi rasa sayangnya sangat terlihat kepada Shinta dan ia juga sangat menyanyangi kakaknya itu.

"Ya kakak kan juga harus ikut papa, gak bisa ke sini terus"
"Iya sih, tapikan bisa gitu seminggu 14 kali kesininya!, " seru Adinda.
"Itu namanya 2 minggu adek! Bukan seminggu, " tutur Shinta.
Adinda hanya terkekeh kecil, lalu kembali memeluk Shinta.
"Sumpah aku pengen cerita banyak sama kakak, tapi aku mau ganti baju dulu ya! Oh ya nanti malam kakak harus nginap disini oke!, " ucap Adinda dengan melepaskan pelukan nya.

Shinta hanya mengangguk "kakak emang nginap disini adek, " ucap Shinta.
"Waah! Yang bener?! "
"Iyaa" balas Shinta

"Oke oke! Aku ganti baju terus akan kesini lagi. Eh bi Mirna tolong bikinin susu vanilla ya buat aku jangan terlalu manis", ucap Adinda bersemangat, lalu meninggalkan Shinta dan bi Mirna.

"Ya sudah non, saya permisi dulu ya. Non Shinta bisa istirahat dulu sampai non Adinda datang. Saya permisi" ujar bi Mirna lalu pergi dari kamar Shinta.

"Terimakasih bi" balas Shinta.

~To be continued

𝙇𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙋𝙚𝙩𝙖𝙣𝙜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang