1. Dibalik Aramara Adhara

29 24 1
                                    

Kuharap beban duka yang kini ada akan segera terkikis oleh waktu yang menghargai setiap langkah perjalanan ini. Sebagaimana mentari yang setia mengawali pagi, kuasa penyembuhan semakin dekat untuk mengurangi kepedihan yang menyelimuti hati. Ketika segalanya terasa suram dan tak berujung, aku tetap teguh memegang janji yang mengalir dari lubuk hati bahwa tak ada duka yang abadi di bawah sinar kearifan takdir.

___________________

10/01/2020

Waktu sudah menjelang sore ketika koridor sekolah mulai sepi, Aramara yang baru saja selesai mengikuti ekstrakurikuler favoritnya, tengah menuruni anak tangga dengan membawa terlalu banyak barang. Sehari-hari, ia selalu membawa ransel besar yang berat, sebuah tas totebag berukuran besar berisi banyak lembaran kertas, serta kanvas lukis yang baru saja ia selesaikan. Aramara memang mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler, membuatnya selalu sibuk seharian di sekolah. Selain menjadi anggota OSIS dan PMR, ia juga aktif dalam ekstrakurikuler melukis dan musik.

Kesibukan ini bukan semata-mata karena kecintaannya pada berbagai kegiatan, tetapi lebih merupakan cara untuk menghindari rumah dan terutama ayahnya. Setelah tragedi mengerikan yang menimpa kakaknya, keluarganya menjadi berantakan. Ibunya pergi ke rumah nenek tanpa berpamitan, meninggalkan hanya ayahnya yang selalu ada di sisinya. Namun, kehadiran ayahnya tidak serta merta membawa kedamaian bagi Aramara. Sebaliknya, melihat ayahnya justru membuat Aramara terus merasa bersalah atas kejadian tragis yang menimpa kakaknya. Setiap kali ia bertemu dengan ayahnya, perasaan bersalah itu menghantuinya, membebani hatinya dengan rasa penyesalan yang tak kunjung hilang. Oleh karena itu, Aramara memilih untuk mengisi harinya dengan berbagai kegiatan di sekolah, berharap bahwa kesibukan itu bisa mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah dan kesedihan yang terus menghantuinya.

Aramara akhirnya tiba di lantai dasar, dengan kelelahan yang terasa setelah menuruni lima lantai. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meletakkan barang bawaannya di sebuah kursi dekat ruang OSIS. Sekolah sudah begitu sunyi, hanya suara pergerakan Aramara yang terdengar di koridor itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan dari sahabatnya, Hani. Biasanya Aramara pulang bersama Hani, namun hari ini karena pulang terlalu sore, Hani telah lebih dahulu pulang bersama orang tuanya.

Brukk

Di tengah kesunyian yang melingkupi, tiba-tiba Aramara mendengar suara benda jatuh yang berisik dari arah ruang OSIS. Dengan hati berdebar dan rasa khawatir yang membayangi, ia segera menghampiri sumber suara tersebut, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Di sana tampak seorang pria yang tampak berdecak kesal, matanya tertuju pada tumpukan buku yang berserakan di sekitarnya. Dengan raut wajah yang mencerminkan ketidakpuasan, ia mulai berusaha merapikan kembali buku-buku yang telah jatuh dan berantakan. Setiap gerakannya penuh dengan kecekatan meskipun terlihat jelas bahwa ia sedang dikuasai oleh perasaan jengkel. Suara gesekan kertas dan derit lantai kayu yang sesekali terdengar, menambah kesan keheningan di dalam ruang OSIS yang sunyi itu. Di tengah kekacauan tersebut, pria itu tampak berusaha menata kembali buku-buku dengan kesabaran yang perlahan mulai muncul, meski kemarahan masih tampak jelas dari ekspresi wajahnya.

"Kak Pran?"
Aramara bertanya, mengenali pria tersebut sebagai wakil ketua OSIS di sekolahnya, seorang senior yang memang dikenal tegas dan keras. Pria itu mendongak dan menatap ke arah Aramara. Dengan niat baik, Aramara menghampiri Pranata, mencoba membantunya merapikan buku-buku yang berserakan.

Pranata, yang masih dilingkupi kekesalan, tampak sedikit terkejut melihat kedatangan Aramara. Namun, ia segera menerima bantuan tersebut, dan keduanya mulai bekerja sama merapikan buku-buku yang berantakan. Dalam keheningan hanya diisi oleh suara lembaran-lembaran kertas yang ditata ulang.

8/12/2018 : And It Was RainingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang