Tim ekspedisi CLEVIC berjalan pelan memasuki hutan luas tersebut, pasukan hijau mengkilap itu terus menerobos masuk ke dalam rimba yang cukup senyap, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan apa pun di dalamnya.
Begitu sunyi, suara tiupan angin bahkan nyaris tidak terdengar. Hanya suara gesekan atau langkah pelan para tim ekspedisi yang John dengar. Cukup mencekam. Mata birunya menyeruak ke segala arah, senapan khusus tetap membidik sekitar, berjaga-jaga.
Tim ekspedisi yang bertotal 40 orang itu terbagi dalam 10 kelompok yang masing-masing beranggotakan 4 orang. Yakni terbagi menjadi 1 orang penjelajah, 1 orang peneliti, 1 orang dokter, dan 1 orang penjaga.
Jika dilihat dari peta, mereka memulai dari sisi utara yang akan tersebar menuju daerah barat, timur dan selatan. Mulanya mereka menyebar dengan beraturan. Bagian terluar daratan zona hijau tampak masih aman untuk dilalui, nyaris tidak ada aktifitas atau makhluk yang berkeliaran.
"Jika terjadi pergerakan yang mencurigakan. Bersembunyi di antara dedaunan hijau. Paham?" bisik salah satu rekan tim John yang memiliki tubuh fisik yang gagah dan besar, Abigail namanya.
"Yeah," balas John mengangguk pelan.
Ada alasan mengapa kostum penjelajah di desain khusus berwarna hijau. Setidaknya bisa berkamuflase di antara benda-benda di daerah sekitar karena terdominasi oleh warna hijau.
Semakin mereka memasuki ke area lebih dalam, 4 tim telah masuk jauh ke daerah barat. 4 tim lainnya ke arah timur, sedangkan 2 tim yang salah satunya adalah John, bertugas menyisir daerah selatan di area daratan yang sangat luas itu.
Mereka menyebar dan menyisir area sesuai tugas yang mereka emban. Hampir dua tahun tim ekspedisi selalu gagal menemukannya dan berakhir gugur atau kembali tanpa hasil. Selama menyisir area tersebut, cahaya di sekitar mulai terasa redup. Banyaknya tanaman aneh dengan ukuran raksasa nyaris menutup sinar matahari yang masuk ke dalamnya.
Rekan-rekan tim John mulai menyalakan lampu penerang yang ada pada senapan mereka, dia pun ikut melakukannya.
"Tingkat bahaya semakin tinggi, hati-hati!" tegas Abigail dengan sorot matanya semakin menajam.
Lampu sorot yang tertempel pada senapannya ia arahkan pada semacam wilayah yang tertutupi tumbuhan rambat. Cahaya di depan sana semakin redup, bahkan mungkin di dalamnya jauh lebih gelap dan berbahaya.
"John ... kau siap melanjutkannya lebih dari ini?" tanya Abigail yang tetap waspada.
"Yeah," jawabnya tanpa ragu.
Empat orang berkostum hijau mengkilap itu menerobos masuk, menyisir area yang cukup redup dari pancaran sinar matahari. Sorot cahaya lampu yang tertanam pada senapan menjadi satu-satunya penerangan bagi mereka.
Perlahan mereka menelusuri lorong yang terbentuk dari tanaman rambat berwarna hijau tersebut. Lorong itu bahkan mulai bercabang menjadi dua, Abigail menganggap lorong itu akan menjadi sebuah labirin yang bisa menyesatkan mereka.
"Masih akan tetap dilanjutkan?" tanya Abigail.
"Kita datang ke sini bukan untuk kembali mundur 'kan!" balas John. Sorot matanya yang tajam belum hilang hanya karena sebuah labirin yang bisa saja menyesatkan eksplorasi mereka.
"Memang tidak," sahut Abigail. Senapan kembali disejajarkan dengan bahu dan melanjutkan ekspedisinya.
Entah berapa lama mereka berempat menelusuri lorong yang semakin lama semakin bercabang. Area yang mereka telusuri begitu sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan, selain tanaman rambat yang melingkup seluruh ruangan.
Kesunyian terpecah tatkala terdengar beberapa tembakan dari area lain. Tampaknya tim lain berurusan dengan sesuatu, John serta ketiga rekannya semakin meningkatkan kewaspadaan.
YOU ARE READING
Dark Fade Rainbow
Science FictionJohn Ezza. Sebagai seorang ilmuwan astronomi dan berpengalaman dalam observasi sistem tata surya, menemukan sesuatu dalam penelitiannya. Setelah mempelajari penelitian dari informasi dan data-data sebelumnya, ia sadar bahwa dalam beberapa bulan ke...