Langit sore di Bali begitu cerah seolah sengaja dilukis indah untuk menyambut kedatangan pengantin baru dan anaknya yang masih berusia 11 bulan. Sepoi angin berhembus sedikit kencang membelai rambut Galleo dan Klarybel. Beruntung Lasya memakai hijabnya, jadi tidak perlu repot untuk merapikan rambutnya.
"Makanya pake jilbab, jadi kalo kena angin tetap aman rambutnya." Tangan Lasya bergerak merapikan rambut Klarybel yang berada dalam gendongan Galleo.
"Kok cuma Ibel? Rambut aku juga berantakan." Proses Galleo.
Menghembuskan nafasnya kasar, Lasya segera merapikan rambut suaminya juga. Sudah berulang kali Lasya peringatkan untuk memotongnya namun sampai hari ini tidak didengar. Galleo membiarkan rambutnya tetap panjang.
"Makanya pake jilbab, rambut lepek gini kok dipamerin." Lasya meledek suaminya. Memang benar yang dikatakan, rambut Galleo justru terlihat lebih sehat saat pendek.
"Aku cowok kalo kamu lupa."
"Masa?"
"Mau liat?" Tantang Galleo.
"Udah sering. Ayo ah cepetan ke hotel biar cepet istirahat."
Taksi yang mereka tumpangi mulai menyusuri jalanan. Bali dengan keindahan alam serta budaya yang unik selalu memikat setiap pengunjungnya. Lasya sangat suka karena berbeda dengan suasana Jakarta.
Bukan hanya Lasya, tetapi Galleo juga sama. Rasanya tidak akan bosan sekalipun dalam setahun harus terus berlibur ke Bali. Pulau yang kaya akan pantai-pantainya.
Kini tibalah mereka di Kintamani yang merupakan salah satu kawasan wisata alam di Kabupaten Bangli, Bali. Hotel yang mereka tempati normal seperti biasanya. Yang tidak normal adalah isi kepala Galleo,
"Connection room?" Lasya membuka pintunya dan menemukan satu ruangan lagi.
Perempuan itu melirik ke belakang di mana Galleo berada. Terlihat laki-laki itu yang sibuk membuka gendongan Klarybel. Anaknya tertidur, jadi ia memilih untuk menidurkannya di kasur terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Lasya.
Begitu selesai dengan urusannya, Galleo mendekati istrinya lalu memberikan penjelasan,
"Iya, biar lebih luas aja. Kita bisa pindah dari kamar satu ke kamar yang lainnya. Liat deh." Galleo membuka tirai kamar pertama lalu berlari ke kamar kedua dan melakukan hal yang sama.
"View-nya beda Ca. Jadi kalau mau liat gunung bisa di kamar satu, kalau kamu liat danau bisa ke kamar dua." Jelas Galleo.
Lasya memijat kepalanya yang ikut pusing melihat Galleo bolak-balik memperlihatkan pemandangan.
"Nah, fasilitasnya juga beda Ca. Kalo di kamar satu connect sama kolam renang, nah kalo yang kamar dua cuma balkon aja."
"Sengaja aku siapin semuanya biar nggak usah pindah-pindah penginapan. Karena kamu pasti seneng tinggal di sini. Keren kan suamimu ini?"
Galleo menyombongkan diri sendiri. Sementara Lasya melirik tajam dan tak percaya dengan semua penjelasan suaminya,
"Aku tau isi otak kamu kenapa harus pilih kamar dengan connection room padahal satu kamar aja udah cukup. Bukan karena takut aku bosen."
"Terus apa kalo bukan itu?" Laki-laki itu duduk di tepi ranjang dan pura-pura kebingungan.
"Biar Ibel nggak sekamar kan sama kita? Gila! Aku nggak mau. Kamu nggak inget waktu Ibel tidur sendiri di apartemen terus jatuh?"
"Yaudah maaf kalo aku salah. Kan aku cuma nggak mau Ibel liat kita."
Tak mempedulikannya lagi, Lasya memilih untuk membereskan koper dan menyiapkan baju ganti. Tubuhnya terasa lengket karena mata hari sudah terbenam sementara dirinya belum mandi padahal baru selesai melakukan perjalanan jauh.