"Beliin Papa parfum dong, Mba"

4 0 0
                                    

Saat itu dunia terasa sempurna. Semua mimpi telah kurancang menjadi 'masa depan' yang indah kataku. Masa depan dimana semuanya ada di dalam sana.

Aku sedang sibuk-sibuknya menyusun program akhir pasca magang di salah satu sekolah. Bahkan melihat wajah Papa, Mama, dan orang-orang rumah lainnya ketika kami hendak terlelap. Saking angkuhnya menjadi mahasiswa mau menghadapi semester 7 ini sering tidak mendengar nasihat dan petuah orang tua karena merasa mampu menghadapi segala cobaan dunia. Toh, aku menjalani kuliah ini karena menuruti kenginian Papa supaya aku jadi guru juga.
Ah, gampang. Nanti skripsian ada Papa yang bantu aku lewati semua ini. Ujarku lagi-lagi merasa bisa akan segalanya.

Benar, Papa adalah satu-satunya orang yang menjadi pahlawan dalam keadaan apapun. Bukan, bukan aku tidak sayang Mama, namun peran Papa lebih terasa dalam perjalanan hidupku hingga detik ini. Pun, menjadi calon guru adalah keinginan Papa yang tak bisa kutolak walaupun aku menjalaninya setengah-setengah.

Hari ini Papa pulang lebih awal dari biasanya. Wajah teduhnya terlihat lebih teduh dengan pandangan mata yang sayu. Aku sangat memahami posisi Papa betapa sibuknya sejak beliau menggantikan posisi Kepala Sekolah setelah Pak Fadly meninggal dunia. Aku sangat memahami bahwa amanah itu sangat berat untuk diemban sendirian, namun aku juga sangat paham bahwa papa sanggup untuk memikulnya. Papa tenang, ada Mba di sini.

"Mba.."
"Iya Pa" balasku seraya mata masih memandangi telepon pintarku.
"Beliin Papa parfum dong. Yang dijual di seberang swalayan itu" ujar Papa yang membuat alisku hampir menyatu.
"Parfum? Kok tumben tiba-tiba minta parfum?"
"Iyaa Papa pengen Mba beliin parfum"
"Hmm okey besok Mba sekalian ke kursus yaa. Mau bayar iuran. Nanti pulangnya Mba mampir ke tempatnya"
"Sekarang aja lah. Bentar saja"
Aku tak menjawab pertanyaan yang aku tanyakan pada diriku, pun tak menanyakan itu kepada Papa. Bagaimana bisa tiba-tiba permintaan itu menjadi suara yang aku dengar? Papa adalah orang yang jarang sekali meminta apapun padaku meskipun aku sudah berpenghasilan. Bahkan beliau yang masih mengisi bensinku penuh atau tiba-tiba mengirimkan aku pulsa.
"Besok aja Pa sekalian Mba mau keluar. Oke?"
"Oke lah" jawabnya sayu. Mungkin Papa benar-benar kelelahan.

Semua berjalan dengan semestinya. Malam hari kami berkumpul di meja makan untuk menyantap makan malam yang sudah Mama siapkan.
"Dek, tolong piringnya ditata di meja ya. Sama panggil Papamu di ruang tamu. Ayo makan sama-sama" ujar Mama dari dapur
"Iya maa" sahut Adikku menuju ruang tamu untuk memanggil Papa.
"Pa ayo kita makan. Udah siap itu"
"Iya sek. Ini Papa lagi otak-atik Zoom"
Dua menit kemudian kami semua berkumpul dan menghabiskan waktu seperti biasa. Namun, kali ini lengkap dengan Papa, Mama, adikku, eyangku, dan aku.

Papa orangnya ramah, lucu dan menyenangkan. Tidak ada yang akan menolak kehadiran Papa yang hangat ini. Bahkan aku tidak akan mungkin bisa hidup tanpanya. Bahkan aku tidak akan bisa hidup tanpanya.
Papa, sempurna. Walaupun sering kali aku membantah dan melanggar larangannya.

"Abang?" Kataku di telepon pintarku.
"Iya dek? Adek kok belum tidur?" Kata pacarku yang jauh di sana karena pandemi. Kami harus berjarak untuk mencegah penularan virus itu.
"Adek kok ngerasa sedih banget ya? Rasanya dada adek sesak banget, tapi adek ga bisa mengungkapkannya, Bang"
"It's ok sayang. Adek udah deket mau halangan ya? Jadi moodnya lagi ga stabil?"
"Iya sih. Tapi ini bener-bener bikin sedih banget"
"Yaudah Abang temenin sampai adek ga sedih." Dan percakapan itu berlanjut hingga aku terlelap di jam 3 pagi hari.

HinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang