Sabtu. 2021.

1 0 0
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah mendapati Papa yang kesal karena aku dan Adikku masih terlelap.
"Heh anak wedok ndang tangi. Iki wes jam 9!" Katanya dengan bahasa Jawa khasnya.
"Iya-iya Paaa. Ini banguun" kataku sambil mengucek mata dan merengangkan badan.
Ternyata Papa dan Mama baru saja dari pasar membeli keperluan karena dua hari lagi Idul Adha tiba. Aku memutuskan untuk mencuci mukaku dan pergi ke meja makan. Sarapan sudah disiapkan namun hal yang pertama aku lakukan adalah memeriksa notif favorit dari pacarku.
"Selamat pagi dek. Abang hari ini ikut Bapak ke pasar nih sama Ibu juga, lagi belanja untuk qurban nanti" tulisnya di roomchat Whatsapp.

Aku tak menggubris dan membalas pesan pacarku karena Mama sudah menyiapkan list pekerjaan yang harus aku lakukan hari ini. Adikku baru saja membereskan ntah apalah di dapur dan aku membuang sampah sembari menyapu halaman.
"Ana! Sini dulu. Pijit Papamu, mama mau masak. Papamu masuk angin ini!" Ujar Mama dari dalam rumah yang kusambut dengan gegas lari ke dalam.
Segera kugantikan Mama untuk meluruskan badan Papa yang tidak enak. Papa terlihat pucat tapi redup. Seperti bunga matahari yang hilang mekarnya. Pandangannya panik dan keringat dingin bercucuran. Oh Tuhan, aku baru kali ini melihat Papa sepanik dan sesakit ini.
"Papa kenapa?"
"Udah pijit aja dulu perut Papa"
"Tapi kuku Mba panjang, kan belum boleh potong kuku?"
"Yo wes ta gimana caranya, ga enak ini perut Papa"
Aku tergopoh mencari cara sembari ke dapur.
"Ma, apa kita bawa aja Papa ke rumah sakit? Mana tau Papa positif Covid?"
"Mana ada dokter hari Sabtu begini Mba" balas Mama dengan muka paniknya juga. Aku menghela napas karena Papa sudah memanggilku. Aku tak mendapati Adikku, Rara di mana. Mungkin sedang mengerjakan sesuatu yang lain.

"Gimana, Pa?" Tanyaku sembari aku masih memijit perut Papa.
"Mba ambilin teh. Papa minum teh aja dulu" katanya seraya duduk dari baringnya. Namun keringat semakin bercucuran. Tapi dingin katanya. Aku bingung. Aku berikan secangkir teh hangat untuknya.
"Tolong dipegang Mba, tangan Papa ga kuat" Astaga, aku benar-benar baru kali ini melihat Papa serapuh ini. Tuhan tolong aku, bantu aku. Ini kenapa? Papa kenapa?
Papa kembali berbaring dan masih ingin dipijit perutnya. Aku mendapati perut Papa semakin pucat namun wajahnya semakin membiru. Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada orang yang paling aku sayang di dunia ini.

"Gimana, Pa?" Kali ini pertanyaanku diikuti oleh alisku yang mengerenyut panik.
"Udah enakan"
Papa terus menerus beristighfar dan bersyahadat.
"Laihahailallah.. lailahailallah.."
Oh Ya Allah aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Tiba-tiba saja mata Papa terbuka lebar dengan tarikan napas panjang seraya meringis menahan sakit yang luar biasa. Aku sangat terkejut.
"MAMAAAA!! PAPA MAAA!"
Demi Allah aku tidak tahu Papa kenapa. Mama segera ke kamar mendapati aku dan Papa. Mama mencari handuk dan diletakkan di mulut Papa agar lidahnya tidak tergigit. Bola mata Papa terus bergerak tak tentu arah sembari menahan sakit yang luar biasa. Rara juga sibuk menghubungi kerabat dekat untuk mengantarkan Papa ke rumah sakit.

Papa, kenapa sebenarnya?

Di ujung setelah meringis Papa mereda, aku melacak detak jantungnya.

Tidak ada.

Papa, meninggal.

Papa,

Meninggal.

Tidak, tidak mungkin. Papa sakit apa? Tidak. Papa tidak pergi. Papa selalu berjanji untuk mendampingiku hingga hari wisuda tiba.

"Papa janji, Papa yang dampingi Mba wisuda"

Bohong.

"PAPAAA! BANGUN PA! LIHAT MBA! LIHAT ANA! PAPAAA!! PAPA GA BOLEH PA! PAPA GA BOLEEHH!!!!" amukku memukul dada papa yang mungkin masih merasakan sakit.
Papa tak menggubris sedikitpun kalimatku. Papa diam tak perduli kepadaku. Papa, menutup matanya sendiri dengan perlahan.
"Mba panggil Om Surya, minta tolong tetangga bawa Papa ke rumah sakit" ujar Mama.
Aku masih terdiam.
"Innalillahi.." kataku tak percaya menyebutkan itu. Aku bergegas ke kamarku memandangi wajahku yang pucat. Memandangi wajahku yang tak berlinang air mata. "Papaku yang meninggal?" Ujarku pelan. Aku bergegas mengenakan jilbab, jaket, dan celana seadanya. Tak lupa masker karena masih dalam keadaan PPM.

Tidak lama aku keluar dari kamar, beberapa tetanggaku sudah ada di kamar untuk membopong Papa masuk ke mobil. Om Ade, sepupu Mamaku, sudah ada di kursi supir. Aku dengan segera duduk di kursi peumpang belakang dengan bantal di atas pahaku sehingga Papa bisa berbaring dengan aman di sisiku.
"pelan-pelan mas, Ini Pak Mus kakinya jenjang, agak ditekuk biar bisa ditutup pintunya" ujar salah satu tetanggaku. Aku menyambut Papa dengan mata yang mulai basah. Tidak mungkin Papa yang pergi duluan meninggalkan aku. Bagaimana dengan janji-janinya? Bagaimana dengan aku setelah ini?!
"Pa?" Di tengah perjalanan aku sebut lagi panggilan itu. Beliau tidak membalasku. Ia hanya terbaring lemas dan kaku. Tangannya pucat pasi. Mukanya tetap membiru. Aku coba buka perlahan matanya dengan pupil mata yang sudah melebar. Tidak ada fokus di sana. Tidak ada Papa di sana.
Ya Allah, benar raga ini yang aku pandangi tanpa suara?
Ya Allah, benar Kau ambil orang yang paling aku sayangi di dunia ini?
Apa benar Kau memilihku sebagai manusia dengan rasa ikhlas di hati ini?
"Papa.. ayo bangunlah"
"Ana.. Ana doa yang terbaik untuk Papa ya" sahut Om Ade dari depan. Bahkan ia tak memakai alas kaki!
"Om.. Papa Ana sudah meninggal ya?"
"Pokoknya tetap doa yang terbaik sampai di rumah sakit nanti ya. Biar dokter membantu menjawab pertanyaan Ana setelah diperiksa Papa nanti"
Aku memeluk wajah yang tak ingin aku lepas. Wajah sayu tampan itu. Wajah ceria dengan beribu candaannya.
"Papa.. ayo bangunlah" kataku berharap mukjizat Allah datang. Berharap Papa masih bisa diselamatkan.

"Bangkar mana bangkar!" Kata omku mengisi seluruh ruangan IGD.
"Kenapa Pak?" Kata satpam di sana.
"CEPAT BANGKAR, INI PASIEN SUDAH MEMBIRU" lalu beberapa dokter dan perawat keluar melihat ke arah mobil. Mereka terkejut dan sama paniknya dengan aku dan Om Ade. Segera pihak rumah sakit membawa Papa dengan berlari menuju ke dalam sana. Aku diarahkan mengurus administrasi sendirian untuk pertama kalinya. Karena sebelumnya, pasti ada Papa di sisiku.
Ah! Perasaan apa ini!
Sial! Mati hatiku rasanya.
Selang lima menit, aku dipanggil Om Ade ke ruangan Papa diperiksa.
"Ini keluarganya Pak Mus ya?"
"Iya saya anak sulungnya"
"Bapak ada gejala Covid ga, Mba?"
"Oh, No! Not at all! My dad was just great" kataku tak dapat lagi berbicara dengan bahasa yang benar. Kebetulan karena aku megajar di salah satu kursus bahasa inggris di tempat kelahiranku.
"Kalau kontak dengan pasien terjangkit ada?"
"I've said to you my dad was just great"
"Baik. Kami sudah melakukan cek jantung dengan EKG dan pacu jantung, namun hasilnya nihil. Tidak ada nadi yang terdeteksi. Mohon maaf sekali, Mba. Bapak berpulang di pukul 11.05 WIB ya. Ini berat tapi harus dilewati" begitu penjelasan dokter kepadaku.
"I wanna see my dad"
"Innalillahi.." kataku lagi sembari melihat Papa yang sudah benar-benar kaku. Aku tidak melihat apa yang para dokter ini lakukan, mamun aku percaya mereka telah melakukan semaksimal mungkin untuk menjawab harapanku. Berharap bahwa Papa masih bisa diselamatkan.
"Om, nanti kalo Ana nikah, om jadi walinya ya" ujarku tak senonoh di depan mendiang Papa dan Om Ade.
"Hus! Itu urusan nanti Ana" ujar Om Ade melihatku iba.
Aku mengabari Mama yang disambut oleh istri Om Ade. Tante Hilda.
"Papa sudah tidak ada tante" Tante Hilda membalas dengan tangisan pecah. Mungkin Mama juga demikian di rumah.
Setelahnya aku mengabari pacarku lewat chat di Whatsapp.
"Abang. Papa meninggal. Maafin Papa ya" lalu aku tak perduli. Tak lama itu banyak sekali kontak yang menghubungiku namun tak bisa kujawab. Aku harus menemani Papa. Aku tidak mau meninggalkan Papa sendirian. Aku tidak akan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang