"Maafin gue, Hali."
Manik merahnya terbuka, Halilintar terengah-engah, air mata yang mengalir di ujung matanya ia usap dengan kasar. Halilintar bangun dari tidurnya, mimpi, mimpi sialan yang terus berputar di otaknya seperti kaset rusak.
Halilintar membenci mimpi ini.
Namun, ia sangat merindukan sosok yang terus mendatangi mimpinya.
Halilintar mengusap wajahnya, ia menghela nafas dengan kasar, jika saja, jika saja ia melarang pergi, semua kejadian buruk itu tak kan pernah terjadi.
"Hali? Udah bangun?"
Si sulung menoleh kearah pintu yang terketuk dan terbuka sedikit, sebuah kepala menyembul masuk mengintipnya, itu adalah salah satu adiknya, Gempa.
"Kenapa?" Ia bertanya dengan kasar.
Nada suaranya itu sedikit mengagetkan Gempa, yang lebih muda lantas menggeleng, "Uhm... Udah mau maghrib, Lin," jawab Gempa dengan pelan.
Halilintar melirik kearah jendela di kamarnya, benar saja, langit tidak lagi berwarna biru, melainkan jingga kekuningan yang nyaris menggelap.
"Oh, gue gak sadar, thanks," balasnya kemudian.
Gempa rasa, percakapannya dengan si sulung usai disini, "Eh itu... Nanti setelah maghrib, turun buat makan malam, ya..?"
Halilintar bangkit dari kasurnya, berjalan kearah lemari untuk mengambil pakaiannya, "Iya," jawabnya dengan singkat, bahkan tanpa menoleh ke sosok Gempa sekalipun.
Si sulung melirik kearah pintu kala tak mendengar respon, sang adik telah pergi, meninggalkannya sendiri di kamar. Perhatiannya kembali teralih pada lemarinya. Ia raih benda itu dan meremasnya dengan kuat.
"Kembali ke gue, Taufan..."
----------------
Kala maghrib telah usai, Halilintar turun menuju ruang makan seperti janjinya pada Gempa. Ketika sampai disana, ia telah melihat adik-adiknya berkumpul mengelilingi meja makan.
Halilintar berjalan kearah Ice, ia sodorkan paperbag di tangannya, "Pakai," perintahnya dengan dingin.
Ice mengerutkan keningnya, pemuda itu ambil paperbag yang Halilintar berikan dan membukanya, maniknya membulat. Dengan tangan gemetar, ia tarik keluar barang itu dan menjatuhkan paperbag ke lantai.
Pakaian dan topi milik Taufan.
Gempa langsung menjatuhkan piringnya, membuat piring tersebut pecah dan berderai di lantai. Thorn pun tak kuasa menahan tangisnya, dan Solar, anak itu mencengkram erat sendok di tangannya, ia menatap bengis pada Halilintar.
"Brengsek! Maksud lo apa, sialan?!" Blaze segera maju, ia tarik kerah baju Halilintar, tatapannya tajam seolah ingin membunuh sang kepala keluarga sekarang.
"Pakai itu, Ice."
Lagi lagi nada memerintah itu.
"Gue kira lo udah-..."
"Ice Blizzard."
Ujaran Blaze terpotong kala Halilintar menyebut nama lengkapnya, Ice membeku, tangannya yang bergetar mencengkram erat. Ia menarik nafasnya dengan dalam, kemudian ia memberanikan diri untuk menatap mata ruby yang kosong itu.
"Kenapa?" Pertanyaan itulah yang keluar dari bibirnya.
Halilintar tertawa sinis, "Masih nanya kenapa? Pakai, Ice, bawa Taufan kembali ke gue."
Mendadak, emosi Blaze naik. Tinjunya melayang ke wajah Halilintar, membuat si sulung terpukul mundur menabrak dinding.
"Blaze!"

KAMU SEDANG MEMBACA
BoBoiBoy AU | Reinn Archives
FanfictionKumpulan AU BoBoiBoy karya Reinn Azalea. Hanya dapat ditemukan di wattpad dan di twitter. Enjoy my universe!