Happy Reading
.
.
.
Rasanya waktu berjalan begitu lamban. Sakala meremas kedua tangannya yang berkeringat dingin di balik selimut. Gelisah. Kepalanya menunduk dalam. Mulutnya terkatup rapat, menahan diri agar tidak berteriak frustasi.
Siapa pun itu, tolong selamatkan Sakala dari tatapan intens yang dilayangkan oleh 3 pria dewasa di hadapannya. Entah sudah berapa menit berlalu tanpa ada percakapan di antara mereka.
Sunyi. Terlalu sunyi.
Detik-detik terus menitik. Menit demi menit terbuang sia-sia. Tidak tahan lagi, Sakala memutuskan untuk memecah kesunyian.
"...Kalian siapa? Apa kita saling kenal?"
Ketiga pria itu saling pandang sebelum salah satunya menyahut, "Kau benar-benar tidak mengingat kami?" Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
Sakala mengangguk tanpa pikir panjang. Kalau dia ingat, kenapa pula dia harus bertanya?
Wajah ketiga pria itu mengeruh. Lantas yang tadi bertanya menghela napas panjang dan mendudukkan diri di tepat di sebelah Sakala.
"Bagaimana dengan namamu? Apakah kau mengingatnya?" tanyanya lagi.
Untuk kedua kalinya, Sakala mengangguk. "..Namaku Sakala..?" Kedua alisnya mengerut saat merasakan sebuah ketidakyakinan tersirat dalam suaranya.
Pria yang duduk itu tersenyum lembut. Lalu dia meraih tangan Sakala. Telapak tangannya yang besar dan hangat membungkus tangan mungil Sakala dengan sangat pas.
"Benar, namamu Sakala Immanuel Andersen. Dan kami adalah keluargamu."
He?
Dengan ekspresi melongo, Sakala menatap pria itu. Immanuel Andersen? Nama milik siapa itu?
Dan... keluarga? Lelucon macam apa yang sedang Sakala hadapi sekarang?Ibu panti yang mengatakannya, bahwa kedua orang tua Sakala adalah orang miskin yang sudah meninggal dalam sebuah tragedi.
Lalu, mengapa orang-orang ini mengaku bahwa mereka adalah keluarganya? Setidaknya, kalau ingin menipunya, bawalah seorang wanita untuk berperan sebagai ibunya. Mengapa yang datang malah 3 orang pria dewasa?
...Tidak. Tidak bisa begini. Di mana Kian? Sakala membutuhkannya saat ini juga. Perlahan-lahan dia menarik tangannya yang berada dalam genggaman tangan pria itu.
Kata Ibu Panti dan Kian, jangan mau disentuh oleh orang asing!
Menyadari penolakan Sakala atas genggaman tangannya, pria itu mengulas sebuah senyum tipis. Dan semakin mengeratkan genggamannya agar ridak terlepas.
"Perkenalkan, Namaku Sabiru Lennox Andersen, kakak keduamu." Ucapnya memperkenalkan diri.
Astaga, sudah Sakala bilang-
"Sadewa Chloe Andersen, kakak pertamamu," yang lainnya melanjutkan. Tampang dan sorotnya sedatar dinding. Di antara ketiganya, Sakala paling tidak menyukai pria yang mengaku sebagai kakak pertamanya ini.
Sakala membulatkan mata kesal. Dia tidak punya-
"Dan aku adalah Daddymu, Damian Olfred Andersen."
"Tapi aku-
Suara dering ponsel membuat kalimat Sakala terpotong. Damian segera mengangkat panggilan. Bicara sepatah-dua patah kata, lalu mematikannya.
Setelah menyimpan kembali ponselnya, Damian menatap Sakala lamat. "Daddy harus pergi sebentar, ada urusan mendesak." Ujarnya sambil mengusak rambut Sakala kemudian berlalu diikuti Sadewa.
Meninggalkan Sakala dan Sabiru di ruangan itu berdua. Sakala memandang Sabiru, dia harus meluruskan kesalahpahaman ini dengan cepat. Orang-orang ini pasti mengira dia adalah putranya karena nama mereka yang sama.
Mungkin Sakala Immanuel Andersen sudah lama mati, lalu akhirnya mereka berhalusinasi bahwa dirinya adalah Sakala yang merupakan keluarga mereka.
Seperti yang ada dalam buku novel pemberian Kian waktu itu.
"Begini, sebenarnya-
Sabiru sudah lebih dulu menggelengkan kepala. "Aku tak mau mendengar kalimat penolakan, oke? Lebih baik sekarang kamu istirahat lagi,"
Sakala terbengong. Lagi-lagi kalimatnya dipotong dan ditinggalkan seorang diri. Jengkel, Sakala membanting tubuh hingga terbaring dengan cukup kencang. Dan selanjutnya dia meringis akibat kepalanya yang terasa pusing.
Mendengus kesal, Sakala melipat kedua tangannya dan memasang mimik marah. Untuk kedua kalinya, seluruh pertanyaannya tak terjawab.
Ketika sedang sibuk mengonel dalam hati, tiba-tiba Sakala ingin buang air kecil. Dia pun bangun, menyibak selimutnya dan turun. Lalu melangkah menuju kamar mandi.
Sakala berdecak kagum, bahkan kamar mandi di rumah sakit lebih besar daripada kamar mandinya di panti asuhan. Wah, Sakala tidak terima ini.
Setelah selesai buang air, Sakala mencuci tangan di wastafel. Di tengah keasyikannya, Sakala mendadak mematung. Kedua mata indahnya melotot horor ke arah cermin di hadapannya.
Dengan kedua tangan yang masih bersabun, dia meraba wajahnya.
Pipi Sakala seharusnya tirus, bukan chubby seperti ini. Dan mata hazelnya, sudah berubah menjadi warna emerald yang cantik.
Tidak...
Apa yang terjadi..??
Ini... ini wajah siapa..???
Kali ini, Sakala sudah tak bisa berkata-kata lagi. Tubuhnya merosot jatuh. Kedua matanya mengerjap, berusaha meyakinkan dirinya bahwa barusan dia hanya salah lihat.
Lantas Sakala kembali berdiri. Dengan jantung berdebar kencang ditatapnya lagi cermin itu.
Masih sama. Wajah asing serta bola mata giok itulah yang balas menatapnya.
Ataukah ini semua adalah mimpi?
Sakala mengangguk-anggukkan kepala. Tenang, ini pasti hanya mimpi. Mungkin sebentar lagi dia akan terbangun dan menjalani hari dengan biasa.
Dengan kepercayaan itu, Sakala membasuh wajah dan tangannya, lalu menatap cermin untuk kesekian kalinya.
Ini pasti cuma mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakala Immanuel Andersen
Teen FictionSakala, seorang penghuni panti asuhan yang mati konyol tak menyangka dirinya akan terbangun di tubuh berbeda. Di tempat antah berantah bersama orang-orang asing yang mengaku sebagai keluarganya. Sebenarnya Sakala tidak masalah dengan takdirnya ini...