Aristiana Bab 6

2 1 0
                                    

Gara-gara Curhat di Radio

Cemburu.

Apakah rasa cemburu ini salah? Sedang aku dan dia tidak terikat hubungan yang sah-- Ana.

Aku membalikkan badan, mengurungkan niat ke warung makan. Seharusnya aku tahu diri. Tidak terlalu ke ge-er an dengan ucapan-ucapan Vian. Apa iya hanya karena mendengar curahan hati saja, Vian langsung jatuh hati. Aku tertawa dalam hati. Dasar bo doh! Kenapa aku baru berpikir sekarang?

Aku melangkahkan kaki ke musala saat kudengar adzan berkumandang. Bersemedi sejenak di sana agar hati lebih tenang.

"Kamu dimana? Kok lama banget?" tanya Vian di seberang telepon. Sebenarnya malas sekali mengangkat telepon darinya, tapi karena ponsel terus menjerit, takut menggangu orang-orang yang sedang beribadah.

"Pulang!" jawabku singkat, lalu panggilan kuakhiri. Setelah itu kumatikan data agar dia tidak bisa menghubungi.

Aku duduk termenung di depan musala.

Vian dan Laila, bagaikan Rama dan Shinta nya sekolah, pada masa itu. Mereka pasangan serasi. Vian ganteng, dan Laila cantik. Kemana-mana selalu bersama, 'kaya perangko' kata sebagian anak.

"Kamu dari mana si?" tanyaku kesal pada Vian. Saat itu, kami ditugaskan berdua untuk jaga pos tiga di acara persami.

Aku yang begitu norak karena kegirangan ditugaskan bareng Vian, dibuat kesal karena dia tidak terlihat batang hidungnya ketika sudah saatnya bertugas.

"Lihat Vian nggak, Kak?" tanyaku pada Dewan Ambalan lainnya yang sama-sama sedang bersiap.

"Nggak tahu, emang kamu tugas sama dia?" tanyanya sambil mengikat tali sepatu.

"He'em, tapi aku cariin kok nggak ketemu ya?" ucapku sambil mengedarkan pandangan ke halaman sekolah mencari Vian.

"Mungkin udah stay di TKP, kamu susulin aja keburu perjalanan malam dimulai!"

Akupun berjalan menuju tempat tugas di persawahan belakang sekolah. Bayang-bayang berjalan berdua dengan Vian sambil pura-pura takut melihat sesuatu agar bisa modusin dia, sirna sudah. Diganti rasa kesal karena ternyata sampai sana, dia belum ada di tempat.

"Lupa bawa lilin," ujarnya santai. Tak ada rasa bersalah, boro-boro minta maaf karena membiarkan aku sendirian.

"Lilin? Ngapain bawa lilin, yang tugas bawa lilin kan peserta, kita mah tinggal ngatur aja." Kesal sekali rasanya, pingin kugebugin, tapi takut dibales.

"Buat Laila-lah, kemarin lupa masih di tasku, jadi tadi aku nemuin dia dulu buat ngasih lilin, nanti kalo kelupaan kan dia bisa dihukum."

"Oh!" Aku hanya membulatkan mulutku. Ada sedikit rasa iri di hati melihat sikap pedulinya pada Laila.

Kemarin sore saat selesai rapat lanjutan Dewan Ambalan, dia sibuk wira-wiri mencarikan kayu bakar untuk Laila, lalu dititipkan di dapur sekolah agar Laila tidak perlu repot membawa kayu.

Oh! Manisnya.

Dia menyiapkan hampir semua perlengkapan yang dibutuhkan Laila sebagai peserta persami. Bahkan susu jahe sachet-an pun dia yang membeli.

"Kamu bawa senter kan?" tanya Vian memecah keheningan.

"Bawa lah, kenapa?"

"Sip lah, nanti aku nebeng. Punyaku kukasih ke Laila, biar nanti di persawahan nggak terlalu gelap."

Laila lagi, laila terus!

"Nggak bakalan ke-gelapa-n lah, wong sepanjang jalan di kasih lilin kok."

"Iya tapi kan di akhir nanti ada parit, di sana agak gelap, jalannya juga licin banyak lumpur."

AristianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang