11

2.1K 167 11
                                    

Ellen tersenyum lega memperhatikan sang Suami yang mulai membaik.

Beberapa hari yang lalu, Elang sudah dipindahkan ke ruangan rawat biasa  setelah berbulan-bulan menjalani perawatan intensif di ruangan ICU.

Semenjak Elang sadar, suaminya itu tak pernah lepas memandanginya, dan akan menangis bila ia tak berada di sisinya. Begitu juga dengan Dion, ayahnya itu akan tersenyum senang bila ia berada di dekatnya.

Sementara yang lain, tidak bisa membuat Elang nyaman, terutama Launa dan Mahendra. Mereka terlihat sangat menyeramkan di mata Elang, dan menangis sambil memegang erat tangan Ellen atau Dion.

Hati orang tua mana yang tak sedih melihat anak mereka takut berdekatan dengan orang tuanya sendiri. Tapi Mahendra mencoba bersabar dan memberikan pengertian kepada Launa yang terus meneteskan air mata setiap kali ditolak.

Ellen menghela napas merasakan genggamannya dibalas kencang oleh Elang saat kedua mertuanya datang menjenguk suaminya.

Elang terlihat gelisah, berusaha mengalihkan pandangan seakan ketakutan, belum lagi napasnya memburu ketika ciuman singkat Mahendra dan Launa menyapa keningnya.

Elang merengek menjahui mereka, membuat Ellen tidak tega melihat tatapan sendu mertuanya.

"Sayang .... tenang, ya? Mereka bukan orang jahat kok." Ellen mengusap dada Elang naik turun dengan cepat.

Elang menggeleng ribut, tubuhnya gemetaran saat wanita tua di hadapannya mengusap surainya.

"J-jangan ... Haahhh."

Launa menarik tangannya dengan berat, rasanya begitu sakit melihat anaknya ketakutan karena sentuhannya.

Mahendra membetulkan nasal canula yang tergeser karena pergerakan Elang, ditambah anak itu kesulitan bernapas.

"Kami nggak akan menyakitimu, Nak."

Elang menggeleng ribut, napasnya semakin memburu. "Hahhhhhh haahhh."

Herlambang dan Yumita yang melihat situasi semakin memburuk membawa kedua besannya untuk menjauh sejenak, membiarkan Ellen menenangkan Elang yang hampir kehilangan kesadarannya.

Ellen berusaha tenang, mengukung pipi tirus  Elang agar fokus menatapnya. "Bernapas sayang ... aku disini ... hanya ada aku dan kamu."

Dion yang baru masuk ruangan terkejut melihat ayahnya kembali sesak napas. Ia memposisikan duduk di tepi brankar mengusap dada ayahnya dengan lembut, dan tangan satunya lagi menggenggam tangan ayahnya yang mengepal.

Dion hanya diam, bukan sekali dua kali ayahnya mengalami ini, dan hanya ia dan mamanya yang bisa memenangkannya.

Lebih-lebih ketika mau masuk, ia bertemu Oma dan opanya yang murung di luar.

Membutuhkan waktu cukup lama membuat Elang kembali tenang, menyisahkan lelehan air mata yang jatuh membasahi pipi.

"Cup cup kesayangan Ellen, udah ya nangisnya, nanti tambah sesak." Ellen mengusap air mata Elang.

"A-ku takut mereka datang."

Dion mencium tangan pucat Sang Ayah. "Super hero-nya Dion harus kuat, nggak boleh nangis. Opa dan Oma orang baik sama dengan aku dan Mama."

Elang mengalihkan pandangannya ke Dion yang tersenyum lembut. "Mereka jahat ... marahin Ellen dan Dion," isaknya.

Masih terekam jelas saat pertama kali membuka mata, ia melihat kedua paruh baya itu membuat berbuat kasar kepada orang yang membuatnya nyaman.

Mahendra dan Launa yang mendengarnya  dari pintu mengerti kenapa anak mereka memandangnya sebagai orang jahat.

Mereka ingat perkataan Dokter sebelumnya, saat ini kondisi fisik dan mentalnya terganggu layaknya anak kecil yang berpikiran polos dan rentan terhadap tekanan.

Bodohnya mereka memberikan image buruk saat Elang kembali terlahir layaknya anak kecil.

Elang dengan mata yang sembab menjulurkan kedua tangannya ke hadapan Ellen, ia butuh pelukan hangat  sekarang.

Ellen yang peka, duduk ditepi brankar, membawa kepala Elang bersandar di dadanya. Membelai rambut lepek sang Suami. Ia tidak menyangka efek bentakan mama mertuanya di depan Elang, berimbas buruk pada penilaian untuk pemikiran anak kecil.

"Sayang, dengarkan aku ... mereka orang baik, mereka juga sayang Elang seperti sayang aku dan Dion. Mereka nggak jahat kok, mereka marah karena aku yang salah. Aku pantas untuk dimarahi waktu itu."

Elang mendongak melihat Ellen, mencari kebohongan di sana. "Ellen nggak nakal, mereka yang nakal." Memegang tangan ramping Ellen dengan tatapan sendu. "Mereka pukul tangan ini, Lang sakit lihatnya," guguhnya.

Ellen terharu mendengarnya, sekalipun mental Elang kekanak-kanakan, rasa cintanya yang begitu besar tak pernah hilang dari hatinya.

"Nggak apa-apa, aku udah maafin mereka. Kamu mau ya maafin mereka?"

Elang terdiam, kembali bersandar di dada Ellen. Membuat Ellen gemas dibuatnya. "Ellen suka anak baik, kalau jadi anak baik nggak boleh dendam dan mau memberikan maaf. Elang mau jadi anak baik kan?"

Elang dengan cepat mengangguk. "Elang mau jadi anak baik!"

Dion bagaikan obat nyamuk di dekat mereka, memilih beranjak dari sana, dan duduk di sofa bersama nenek dan kakeknya.

Mahendra dan Launa yang menyaksikan itu, melangkah dengan hati-hati mendekati brankar. Mereka kembali berharap bisa mengambil hati Elang.

Ellen yang menyadari kehadiran mereka, mengarahkannya berdiri di sampingnya.

Sementara Elang masih belum sadar kehadiran mereka, dan sibuk memainkan kancing baju Ellen.

"Ayo lihat siapa ini?"

Elang memutar arah pandangannya ke depan, ia terkesiap dan kembali memeluk Ellen.

"Tadi katanya mau maafin? Ayo lihat dulu orangnya."

Dengan malu-malu Elang mengikuti permintaan Ellen, memandang kedua orang paruh baya yang menatapnya dengan penuh kerinduan.

"Maafkan kami, sayang."

Elang menatap mereka bergantian, mengangguk singkat. "Elang maafin."

Dengan perasaan bahagia, Launa mencium sayang wajah anak mereka. Membuat Elang kaget, tapi anehnya ia perlahan nyaman.

"Terimakasih, Nak," ucap Mahendra kepada Ellen.

Ellen yang merasa tidak pantas mendapat terimakasih dari mereka hanya menunduk. Tapi usapan hangat dari tangan halus mama mertuanya, membuat mata Ellen mengembun.

"Kali ini, Mama akan memberikan kamu kepercayaan, dan ... terimakasih sudah membuat Fano kami kembali," tutur Launa, melapangkan dadanya.

Tak bisa ia pungkiri, anaknya kembali berjuang karena Ellen dan ia tidak bisa membuat Ellen jauh.

Ellen menangis haru memeluk Elang, ia akhirnya mendapatkan restu dari mertuanya.

TBC

Kita kasih Elang bahagia dulu:)

Silahkan tinggalkan jejak jika kalian suka😉

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang