1

3.7K 438 169
                                    

"Dinasti politik?" Seorang gadis bernama Marsha tersenyum meremehkan pada teman yang duduk di depannya. Gadis ini salah satu mahasiswi unggulan, wataknya sangat keras kepala dan cukup serius. Meski begitu, Marsha berteman dengan semua orang kecuali satu, yaitu Ara. Marsha sangat membenci Ara.

Ya, gadis yang berada di depan Marsha sekarang adalah Ara. Jika watak Marsha cukup serius, Ara lebih tinggi dari itu, Ara orang yang sangat serius, dingin dan tidak suka becanda. Tidak ada yang sudi berteman dengannya karena Ara pasti menatap semua orang secara tajam. Tidak, Ara memiliki dua sahabat dekat yaitu Azizi dan Adel yang sudah terbiasa dengan sikap dingin Ara. Mereka teman Ara sejak Ara duduk di bangku SMP, Ara selalu jadi garda terdepan untuk membela mereka.

"Iya, dinasti politik. Itu masuknya nepotisme yang termasuk dalam salah satu praktik penyimpangan politik." Dua mata Ara seakan menjelma menjadi panah yang menancap mata Marsha.

"Apa salahnya? Dia memang anak Presiden tapi dia mendaftar sebagai calon Presiden sesuai prosedur. Jika hal itu disebut nepotisme, berarti kamu membatasi hak orang-orang yang punya hubungan darah dengan semua pejabat untuk masuk ke dunia politik." Marsha tidak ingin kalah dengan Ara.

"Jangan bodoh, Marsha, politik yang di dalamnya diisi oleh orang-orang sedarah tidak akan menciptakan keadilan apapun." Ara berdecak, sangat meremehkan pola pikir Marsha. "Korupsi akan merajalela, ketidakadilan akan semakin berdiri kokoh."

"Kamu belajar asas non-diskriminasi dan asas praduga tidak bersalah kan? Aku yakin kamu lewatkan hal ini." Marsha meminum jusnya karena hawa meja ini sudah semakin panas.

"Loh, asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam pengadilan. Birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukan pengadilan." Ara menggeleng tidak mengerti dengan jalan pikir Marsha, bagaimana bisa Marsha jadi mahasiswi salah satu dari tiga mahasiswi terbaik di fakultas hukum dengan isi otak yang seperti itu?

"Hukum bisa berlaku di mana saja." Marsha meneguk ludahnya, terlihat sedikit panik karena ia salah bicara.

"Menghentikan nepotisme atau dinasti politik adalah upaya mencegah kemungkinan dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Yang harus berlaku dalam organisasi dan manajemen politik bukan asas praduga tak bersalah, tapi asas praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol. Kontrol akan melemah jika orang di dalam politik diisi oleh satu kaum yang sama." Nada suara Ara semakin ditekan, menunjukkan bahwa Ara sudah tidak bisa menahan emosinya dengan debat ini.

Marsha belum menjawab, hanya menatap Ara tajam seakan Ara adalah orang yang pantas untuk mati.

"Kamu membela mereka dengan alasan kebebasan demokrasi? Bukannya yang mereka lakukan adalah memenjarakan demokrasi orang lain? Karna yang akan duduk di kursi politik hanya keluarga dan kerabat mereka." Seakan tidak puas, Ara kembali berbicara.

"Kamu memperlebar segalanya hanya untuk memenangkan perdebatan."

"Ditutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme membuat mereka kehilangan tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang tertutup dan licik. Nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Itu yang kamu bela? Bodoh." Kata terakhir Ara membuat darah Marsha memanas.

Marsha memukul meja dengan sangat keras sebelum berdiri, mengundang tatapan semua orang di kantin kepadanya. Marsha menunjuk Ara, "Aku hanya membahas bahwa legal saja seorang anak Presiden mencalonkan diri menjadi Presiden berikutnya, bukan membela nepotisme!"

"Itu hanya kalimat yang berbeda dari pembelaan, intinya sama." Ara ikut berdiri, tersenyum miring. "Seharusnya kamu dikeluarkan dari fakultas hukum saat semester pertama, bodoh."

RODRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang