Sinar sang surya menerobos masuk melalui jendela kamarku dan membuatku silau karenanya. Aku mengusap wajahku dan menghentikan tanganku tepat di atas pipiku. Basah. Mungkin sekarang ini mataku sangat sembab karena aku menangis semalaman. Hampir di setiap bangun tidurku selalu kudapati mataku yang sembab. Bahkan aku harus mencari alasan yang berbeda setiap kali ibuku menanyakan soal mataku. Tetapi aku bukanlah pembohong yang handal sehingga ibuku hanya mengangguk tanpa menanyakan lebih lanjut, syukurlah. Aku tahu cepat atau lambat aku harus menceritakan semua ini padanya. Atau bahkan ibuku sendiri sudah tahu jawabannya, penyebab mengapa anak satu-satunya ini selalu murung, tanpa gairah. Seolah tak punya semangat hidup lagi. Ya, karena satu-satunya semangat hidupku adalah dia.
Dia, Jacob Black. Aku tak pernah bisa melupakannya dari pikiranku. Seolah hanya dirinya lah yang ada di pikiranku. Semakin melekat setiap kali aku mencoba untuk melupakannya. Aku mendesah pelan, tersenyum, mengingat betapa aku sangat merindukan sosoknya saat ini.
Aku pun menghela nafas dan menghapus air mataku. Kurenggangkan otot-ototku, rasanya begitu rilex. Kulihat sebuah foto yang berdiri tegak di atas meja kayu ek di samping tempat tidurku. Foto itu seolah menjadi penyambut di setiap pagiku, bahkan setelah kepergiannya. Foto diriku dan dirinya. Bahkan aku masih ingat kapan dan dimana foto itu diambil. Tepatnya musim dingin tahun lalu di Forks.
Salju menyelimuti kota kecil dengan curah hujan terbanyak di Amerika. Aku sangat benci kota ini. Dingin, basah. Dan bahkan sinar matahari pun hanya terlihat beberapa kali dalam setahun. Tidak seperti kota London yang begitu nyaman. Aku terpaksa ke kota kecil ini karena aku berjanji akan menghabiskan sisa liburan musim dinginku di sini bersama sepupuku, Bella Swan. Terakhir kali aku melihatnya saat usiaku sembilan tahun. Kami sering mengirim email. Bisa kubayangkan betapa menderitanya Bella di Forks bersama Charlie. Bukan Charlie yang kumaksud, tapi cuaca di sana. Bella juga sangat membenci cuaca dingin seperti di Forks. Dan selama delapan tahun ini dia berada di sana.
Bella senang sekali aku memenuhi janjiku padanya. Tidak sulit menebak yang mana Bella di antara kumpulan banyak orang. Dia yang berkulit pucat. Tidak terlalu pucat sebenarnya, lebih tepatnya bening. Kulit indah yang membungkus tubuhnya. Dia tampak begitu cantik, bahkan dengan rambut coklat berantakannya. Aku menggeleng kepala, dia tidak berubah.
Sore itu Bella mengajakku pergi ke taman bersama kekasihnya yang bernama Edward Cullen. Aku begitu terpukau melihat Edward yang begitu, mempesona? Eh. Dia mengingatkanku akan temanku di London, Cedric. Sekilas kupehatikan wajahnya memang mirip dengan Cedic. Tentunya tanpa rambut bronze dan mobil volvo. Bella sempat menceritakan tentang Edward padaku lewat email. Betapa dia tergila-gilanya pada Edward. Tentu saja dia tergila-gila. Aku bisa pastikan, semua gadis pasti akan tergila-gila padanya.
Sementara Edward dan Bella sedang bermesraan, dan aku tidak ingin menjadi orang ketiga di antara mereka - well, seharusnya Bella tidak usah mengajakku jika dia ingin berkencan dengan Edward - jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan. Terakhir kali kuingat ada pohon maple di sekitar taman ini. Nah itu dia. Dan rupanya terdapat bangku taman di bawahnya. Aku pun duduk di sana dan mengeluarkan sebuah novel kecil dari saku mantelku. Ya, kebiasaan yang tak pernah hilang. Aku selalu membawa buku bacaan apapun kemanapun aku pergi. Membaca adalah hal yang kusukai.
Bruk! Tubuhku terdorong hingga aku hampir tersungkur ke depan ketika sesuatu menghantam punggunggku. Aku menoleh untuk melihat siapa orang yang telah melemparku dengan, eh, bola salju? Aku berdiri, menggeram seraya mengepal tanganku. Dan saat itu seorang pria berlari menghampiriku.
"Hey, maaf. Aku tidak sengaja." katanya disertai dengan cengiran lebar yang menampakan giginya yang putih.
"Minta maaf? Semudah itukah?" Aku tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Dia meminta maaf seolah tanpa penyesalan sedikitpun.