prologue

65 24 30
                                    

“Laut indah di momen yang indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laut indah di momen yang indah.” Seberang Laut Sana

Kaki jenjangnya membawa dirinya mendekatkan diri pada segerombolan orang dibibir pantai. Pikirnya, ada apa dengan manusia-manusia yang tengah saling menautkan diri membentuk sebuah lingkaran samar di sana. Netra sejernih biru laut itu menatap sebuah perahu. Bibirnya menyertakan senyum sumringah. Ia hapal betul perahu milik siapa itu.

"Kenapa wajah bapak ada darahnya?" gumamnya. Gadis itu tak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Vena," panggil pria tua di sana pada gadis yang masih berusaha menerobos ramainya manusia.

"Ya, pak?" gadis bernama Vena itu menyahut dengan cepat. Suaranya sedikit meninggi takut jika bapaknya tak mendengar.

"Hey kalian! pindah lah dari situ. Kalian menghalangi jalan kami membawa mereka!" pria sepantaran bapak dari Vena itu meneriaki orang-orang yang kepo dengan apa yang mereka alami. Vena yang terkejut mendengar teriakan marah itu segera membuka jalan, sama seperti yang dilakukan segerombolan orang tadi.

Ada mayat.

Vena nampak takut melihat mayat-mayat yang diturunkan dari perahu kecil. Ia berlari kecil menghampiri bapaknya dan bersembunyi dibalik punggung lebar tegap bapaknya. Bagaimanapun, semuanya tampak mengerikan.

"Bapak, apa yang terjadi? Dimana Ali, pak? Tadi kan dia ikut bersama bapak ke laut," tanyanya dengan suara kecil.

"Vena, maafkan bapak, nak." Suaranya terdengar bergetar. "Bapak tidak bisa menemukan Ali. D-dia hanyut bersama ombak yang menerjang perahu kecil bapak dan Pamanmu."

Terjawab sudah kenapa hanya ada satu perahu yang pulang. Perahu si paman sepertinya hancur. Vena menatap syok bapaknya. Ia dapat melihat punggung lebar itu sedikit bergetar kala memberitahunya. Tak sadar air mata menetes membasahi pipinya. Vena menangis, dipikirannya tidak ada cela untuk berpikir positif tentang Ali. Vena menggeleng dibalik punggung tegap bapaknya.

Ia melangkahkan kakinya dengan berani menghampiri orang-orang yang menurunkan mayat tadi. Ingin bertanya dan memastikan ucapan bapaknya adalah kebohongan.

"Paman, Ali dimana?" pertanyaan sama yang ia lontarkan pada bapaknya tadi. Ia berharap jawaban yang diberikan pamannya berbeda dengan yang bapaknya berikan.

Pamannya berusaha mengabaikan pertanyaan Vena dengan tetap fokus pada kesibukannya, yaitu membantu nelayan lain untuk memindahkan manusia tak bernyawa itu kesebuah kendaraan untuk dibawa pulang kerumahnya masing-masing. Tak dapat ia pungkiri jantungnya berdegup lebih kencang saat melirik wajah keponakannya. Sementara itu Vena menautkan jari didepan dadanya. Merapal kan sebuah permohonan yang mustahil.

"Paman?" panggilnya karena tak kunjung diberi jawaban. Vena menggoyangkan lengan kokoh pamannya. "Ali dimana?"

Pamannya mengusap wajah gusar. Merasa ragu ingin memberikan jawaban. Pamannya, sangat tahu bagaimana keponakannya itu sangat menyayangi Ali.

Dan kabar yang mereka bawa begitu buruk terutama untuknya.

"A-ali sudah tidak ada," katanya.

"Paman, Vena tau hari ini ulang tahun Vena. Tapi, Vena tidak ingin hadiah seperti ini." Air matanya mengucur deras membasahi pipi. Kenyataan yang ia dapat sangat sulit diterima olehnya. "Vena ingin mencari Ali, Paman!" Vena menghampiri perahu milik bapaknya. Ia yakin bisa menemukan Ali di laut sana dan akan membawa Ali pulang dari laut jahat itu.

Tangannya dicekal oleh pamannya. "Jangan bodoh, nak! Kau tidak tahu bagaimana ganasnya ombak di sana. Bahkan kau pun bisa hilang seperti Ali."
Vena tersenyum ditengah-tengah basahnya pipi oleh air mata. Senyumnya menyiratkan kecewa dan marah sekaligus.

"Ali janji pada Vena, dia akan pulang dengan selamat. Mungkin, di sana dia sedang ada masalah. Biar Vena yang menjemputnya, Paman," ucapnya. Vena sudah bersiap ingin naik ke perahu.

"Nak, bapak akan mencarinya besok. Kita pulanglah dulu!" bujuk bapaknya.

"Ali bisa mati jika menunggu besok," bentaknya tanpa sadar. Ia tetap akan pergi mengarungi laut demi menjemput Ali.

"Ali sudah mati, Vena!! Siapapun tidak akan selamat jika diterjang ombak seperti itu. Kau beruntung karena bapak masih berdiri didepan mu," bentaknya terpancing amarah, bayangan akan kehilangan anaknya berkecamuk di kepala.

Vena terdiam. Ia memundurkan langkahnya menatap lamat-lamat bapaknya. Benar, seharusnya ia beruntung. Dari beberapa orang yang pergi hanya bapak, pamannya dan dua orang lagi yang selamat. Tapi, ia tak bisa menerima fakta kepergian Ali. Hatinya bak teriris sesuatu. Rasanya sangat sakit.

Dia-Venaya Abiru. Gadis periang secerah matahari itu, kini memperlihatkan redupnya semangat dalam diri.

Seberang Laut Sana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang