15. (b) ...UNTUK MELEPASKAN DIRI

41 7 1
                                    

PRAMANA'S HOME, 17.30

Sebenarnya ada alasan kuat mengapa Hana sangat bertekad melepaskan nama belakangnya. Sejujurnya dulu Hana tidak beda dengan anak-anak orang kaya pada umumnya. Di tuntut ini dan itu.

Dari kecil Hana tidak pernah di perhatikan, dan yang Hana inginkan hanyalah rasa cinta. Cinta dari orang tuanya. Ibunya tak pernah dirumah, sangat jarang ia temui. Saat itu bahkan Hana berpikir bahwa dirinya seperti seorang piatu. Tapi walaupun jarang bertemu dengan Ibunya, Hana masih bisa bertemu dengan Ayahnya di beberapa waktu.

Saat itu yang Hana inginkan hanyalah perhatian, jadi dia rela melakukan apapun agar Ayahnya setidaknya bisa memujinya atau mengajaknya bicara, bersikap baik seperti kebanyakan ayah pada umumnya.

Ia belajar dengan giat, menjalani banyak les private sesuai jadwal yang di tentukan, mengikuti kelas bela diri yang sudah di atur, dan mematuhi segala peraturan yang di tetapkan dirumah. Hana memutuskan menjadi seorang calon penerus yang baik seperti yang di inginkan Ayahnya. Dan ketika ia sudah memutuskan untuk merealisasikan sesuatu, Hana pasti akan berusaha melakukan segala hal itu dengan hasil yang sempurna.

Saat di usia empat belas tahun dia bahkan sudah menguasai beberapa bahasa. Seperti Indonesia, inggris dan mandarin. Tapi di tahun-tahun itu juga Hana merasa lelah. Seolah-olah apa yang ia lakukan sia-sia. Hana sudah melakukan banyak hal, bahkan ia tak memiliki teman satupun demi semua kesibukannya itu. Semua yang ia lakukan seolah-olah tidak bisa memuaskan Ayahnya karena Ayahnya itu seperti, hanya bergeming.

Hana seperti berjalan di tempat. Hana tidak mendapatkan yang ia inginkan secara memuaskan. Ia dan Ayahnya malah semakin menjauh. Hana tidak pernah bertemu lagi dengan Ayahnya di waktu-waktu itu. Hanya memerintahkan om romi, sekretaris Ayahnya yang kadang datang mengantarkan pesan tentang ini itu.

Hana muak.

Akhirnya di tahun-tahun itu juga ia mulai membuat banyak masalah, di tahun-tahun itu juga ia berteman dengan Bisma. Mereka seperti saudara yang di pertemukan setelah lama berpisah, sangat cocok dan kompak. Ia jadi sering bolos sekolah, bertengkar dengan siswa lain entah laki-laki atau perempuan, tidak pernah mengikuti les private lagi karena selalu pulang terlambat, dan sebagainya.

Sayang sekali, pada akhirnya ia hanya tetap bisa tersenyum kecut. Ia masih tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Padahal Hana berpikir jika menjadi penurut tidak berhasil maka ia akan menjadi sebaliknya.

Tapi bahkan ketika dirinya melakukan banyak kenakalan, hal itu tetap tidak bisa menggerakkan hati seseorang yang ia panggil Papa itu beranjak dari singgasananya untuk berinisiatif menemuinya. Ayahnya marah? Tentu saja.

Tapi bukan Ayahnya yang datang, jadi Hana berpikir, siapa peduli.

Tapi Iama kelamaan, Hana semakin merasa tidak berarti, ia semakin merasa tidak di cintai. Atau mungkin memang tidak pernah di cintai. Ia merasa sendiri, sangat sepi.

Apa yang ia genggam di tangannya seperti angin. Kekayaan dan nama baik. Hal itu tidak bisa memuaskan hatinya. Hana jelas tahu apa yang ia inginkan, tapi ia tidak bisa mendapatkannya sekeras apapun ia berusaha. Tentu ia kecewa.

Lalu hal yang paling buruk datang di tahun akhir sekolah menengah pertamanya. Saat itu Hana melakukan kenakalan yang sangat fatal.

Ia hampir membunuh orang.

Sebenarnya kecelakaan waktu itu bukan sepenuhnya salahnya, tapi karena ia mengendarai motor saat ia masih di bawah umur --berusia lima belas tahun-- hal itu menjadi petimbangan tersendiri dimata hukum. Ia sendiri terluka lumayan parah saat itu, tangannya patah hingga harus di gips. Dan beberapa goresan di beberapa tempat.

Aku dan Kamu : Berandalan dan Si Kemayu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang