03 - ça a l'air tellement mieux

206 23 3
                                    

[ H e a r t b u r n ]

“Ngapain?” Amberly tersentak kaget ketika suara berat seseorang menyapa gendang telinganya disisi kanan. Pun reaksi itu dibarengi dengan jatuhnya sekumpulan bunga liar yang sengaja dia kumpulkan. Amberly tersenyum kikuk, menyelipkan helaian rambutnya yang turun di pundak.

Kafssa melirik bunga diatas sepatunya, salah satu yang jatuh dari genggaman Amberly tadi. Lantas tubuhnya bergerak merunduk, mengambil dengan pandangan rumit. Cowok itu memberikan pada Amberly tanpa berkata apapun—setelah sebelumnya bertanya dengan cara yang tidak bisa dikatakan baik sebab telah mengejutkan seseorang.

“Lo ngapain disini?” Taman ini memang umum. Beberapa siswi yang menyukai bunga sering kali datang berkunjung, juga dengan beberapa siswa yang sengaja datang hanya untuk menangkap belalang atau serangga lain. Tetapi agak heran saat menemukan kehadiran Kafssa yang terbilang—em, harusnya cowok itu tidak berada disini, kalau tidak ada alasan penting. Cowok itu bukan tipikal orang yang akan mau repot-repot datang di tempat tersebut, kalau pun iya dia akan menjadi sasaran empuk para siswi yang menggemarinya.

“Nemuin lo.”

Ujung alis Amberly hampir menyatu, tanda kebingungan serta penasaran mendengar jawaban Kafssa. “Ada sesuatu yang mau diomongin?” Dia menatap cowok tersebut dengan berani. Beberapa orang mungkin akan menghindari tatapan mata Kafssa ketika mereka berbicara, tetapi Amberly tanpa ragu menatapnya—seolah mematahkan rumor yang mengatakan kalau mata Kafssa adalah gambaran neraka yang tidak pantas ditatap. Yah, umumnya memang orang lain akan berpikir belasan kali untuk berhadapan dengan cowok tersebut, entah apapun alasannya, mereka memilih untuk menghindari, daripada sesuatu yang buruk terjadi.

“Nggak ada.” Tatapan matanya menyoroti Amberly dari atas ke bawah, dua kali dia mengulangi. Kemudian memberi tekanan agar mata lawan bicaranya menyerah saat ditatap. Dan, berhasil. Selalu akan begitu, sebab tidak ada yang bisa meluluhkan sorot bengis milik Kafssa. Perempuan itu memalingkan wajah karena merasa agak sesak dan tidak nyaman beradu pandang lebih lama dengan Kafssa.

“Eh, terus?” Pertanyaan itu didiamkan. Amberly melongo dengan tingkah kurang sopan Kafssa yang biasa cowok itu lakukan, tanpa menjawab atau memberi gerak tubuh yang setidaknya dapat menjelaskan, dia malah melarikan diri—membawa langkah mendekati kursi panjang tak jauh dari mereka. Kemudian, duduk dengan tenang disana, meninggalkan Amberly yang merengut hidung tak suka.

Sungguh. Dia sangat bingung dengan perilaku cowok itu. Kadang kala memberi perlakuan manis yang sukses menghanyutkan harga diri dan hati Amberly, disaat tertentu bertingkah seenaknya dan tak peduli, tetapi untuk beberapa momen juga menampilkan sikap yang dapat meruntuhkan tembok pertahanan diri Amberly—posesif dan kasar. Cowok itu terlalu sulit ditebak. Bohong jika Amberly katakan tidak tertarik pada Kafssa. Nyatanya kehadiran cowok itu selalu dapat menerobos celah ke hatinya, jadi tidak masalah bukan kalau di hari-hari berikutnya perasannya semakin tumbuh pesat.

Amberly menjentikkan dua jarinya dengan wajah seperti baru saja mendapat pencerahan. Dia baru saja mengingatnya, terhanyut dalam indah bunga-bunga liar yang ada sampai melupakan tujuan utama dia datang kemari. Perempuan itu merutuki dirinya sendiri, merasa mudah dibodohi, jika mengingat waktu terhitung sepertinya sudah setengah jam lewat dia hanya melakukan hal sia-sia seperti itu.

Kedua matanya mulai berpencar menelisik dengan cermat. Harusnya kalung itu bisa memantulkan cahaya karena sinar matahari berada tepat diatas kepalanya. Pun, harusnya dia tidak bertindak ceroboh dengan menghilangkan kalung tersebut, lain kali dia akan menjaganya dengan baik.

Hurt burn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang