Cerita 1: Sekolah Malam

29 1 1
                                    

Genre: Fantasy, slight horror, psychological, mistery

Rintikan tetes air berdengung di telinga Raisa. Gadis yang terbujur kaku itu perlahan membuka matanya. Ia terengah, merasakan betapa kebas kakinya karena lama tidak ia digerakkan. "Eugh," ia mencoba duduk dengan menopang pada tangannya di lantai. Raisa menggeleng, berharap dapat memfokuskan matanya. Dengan perlahan, ia menyapu pemandangan di sekitarnya. 

" Apa, di mana ini? " Ia mendesis, kepalanya terasa berdenyut hebat. Jantung Raisa mulai berdegup kencang, ia merasakan cairan yang mengalir dari kepalanya. Perasaannya terbukti benar ketika ia melihat darah dari tangan kanannya. Matanya terbelalak, napasnya tersengal, terlihat bahwa gadis itu mulai panik selagi ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. " Tidak, tenang dulu, Raisa. Tenangkan dirimu." Telapak tangannya memegang dadanya, seakan menyuruh tubuhnya untuk menenangkan diri. " Ya, aku tidak akan bisa berpikir apa-apa jika aku panik, " ia meyakinkan dirinya sendiri. Raisa memejam mata dan menghembuskan napasnya dengan mantap, " Oke, sekarang mari jelajahi tempat ini dulu. "

Tempat itu sepi dan gelap, hanya cahaya redup dari lampu-lampu tua yang meneranginya. Langit-langit dan cat dinding ruang yang usang semakin meyakinkan Raisa bahwa tempat ini telah ditinggalkan. Terdengar suara gemericik air dari arah jendela, menandakan datangnya cuaca yang tidak bersahabat. "Ternyata sedang hujan, ya," gumamnya. Ia kemudian berbalik melanjutkan perjalanan menyusuri tempat itu.

Satu hal yang dapat ia simpulkan, gedung ini adalah sekolah yang ditinggalkan. Terlihat dari banyaknya ruang yang berisi meja dan kursi, serta papan tulis yang menghiasi tempat gelap tersebut. Namun hal yang masih ia pertanyakan, mengapa ia berada di sini?

Sayup-sayup ia mendengar suara keributan dari arah tangga di depannya. Gadis itu mendongak ke atas, " Haruskah aku mengeceknya? " Raisa tidak yakin. Dalam suasana seperti ini, sepertinya tidak bijak jika ia pergi ke tempat yang mungkin berbahaya. "Kenapa kau ragu?" Raisa terperanjat, ia tidak menyangka akan ada orang lain di belakangnya. Orang itu hanya memiringkan kepalanya, "Kenapa kau ragu?" tanyanya kembali. "A-apa?" Raisa tergagap, masih mencoba menenangkan jantungnya. "Apa kau takut untuk pergi ke atas? Mau pergi bersamaku?" tawarnya. Terlihat dahi dan mata Raisa yang mengernyit, tak percaya dengan orang yang baru ditemuinya.

"Arka," lelaki itu menjulurkan tangannya. "Um," Raisa dengan ragu menjabat tangannya, "Raisa." Ujung bibir Arka bergerak tersenyum, "Sudah siap pergi?" Raisa kembali mendongak ke lantai atas. Ia menghembuskan napasnya, "Aku siap."

Raisa menginjakkan kakinya ke lantai atas bersama Arka. Memang benar terdapat banyak orang di lantai ini, namun semuanya terlihat berantakan. Siswa yang saling adu tengkar, pecahan kaca di mana-mana, siswa yang menghancurkan fasilitas sekolah, dan guru dengan mata kosong yang terlihat pasrah pada keadaan. "Ada apa ini?" Raisa sedikit panik. Ia menengok pada pria di sebelahnya, mencari sebuah penjelasan. "Yuk, keperluan kita ada di sebelah sana," Arka menunjuk sebuah ruangan, benar-benar mengabaikan pertanyaan Raisa.

Pria tersebut bergerak maju, hampir meninggalkan Raisa yang linglung dengan kejadian di sekitarnya. "Tunggu sebentar! Aku butuh penjelasan!" Dengan cepat, ia menarik tangan Arka dan menghentikan jalannya. "Kau tidak bisa—" 

"ANJING, LO BANGSAT!"

Secara tiba-tiba, dua siswa jatuh di depan mereka. Keduanya bergelut, saling melempar tinjunya masing-masing. Salah satu dari mereka merogoh kantong, mengeluarkan pisau kecil yang bersembunyi di balik bajunya. Seolah dirasuki orang gila, siswa tersebut menusuk temannya berkali-kali tanpa ampun. "Hei! Hentikan! Apa kau gila?!" Raisa segera menarik bahu orang gila tersebut, " Tunggu, apa? " ia terkesiap, " Tanganku menembusnya? " Raisa terdiam, otaknya mencerna kejadian di depannya itu.

"Mereka sudah mati," Arka membuka mulutnya, "Yang kau lihat adalah jiwa mereka yang mengulang reka kejadian ketika mereka masih hidup." Ia menunjuk sekitar, "Bukan sekedar kejadian biasa, tapi kesalahan terbesar mereka selagi hidup." Pria itu berjalan mendekati dua siswa tersebut, "Berarti pembunuhan adalah kesalahan terbesar anak ini." Raisa tergagap, "A-apa semua orang di sini sudah...?" Ia melihat sekeliling. Arka terkikik, "Tidak, ada yang masih hidup." Gadis itu menghela napas lega. Ada sedikit beban yang terlepas mendengar hal itu. Arka memiringkan kepalanya, ia menyeringai, "Apa kau takut?"

Raisa terdiam. Sedari awal, ia tidak menyukai orang ini. Tatapannya kosong, senyumannya aneh, nada bicaranya dingin, dan ia tidak tahu apa niat Arka karena telah membantunya. Ia merasa tidak nyaman dengan pria ini, tapi apa boleh buat, hanya pria ini yang dapat membantunya saat ini. "Tidak terlalu," Raisa menjawab Arka seadanya.

Sebuah pertanyaan muncul di benaknya, "Lalu, kenapa aku ada di sini?" ia berbalik menghadap Arka. Pria itu hanya tersenyum, ia kembali berjalan ke arah tujuannya. Raisa mendecak, "Hei, aku bertanya—"

"Kita bertugas untuk mengurus manusia yang masih hidup," ujar Arka memotong kalimat Raisa. "Ada banyak manusia yang harus kita urus, apa kau masih mau menghalangi pekerjaanku?" Raisa menelan ludah, ia tahu bahwa pria di sampingnya terdengar kesal walau wajahnya tidak menunjukkannya. Muka datar Arka hanya makin mencekik suasana kelam yang ada. " Sebaiknya jangan memperpanjang masalah " pikirnya, " Perasaanku tidak enak. " Akhirnya, Raisa hanya mengikuti Arka pergi ke tempat tujuannya dari belakang.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Author's note:

1 cerita bakal ada 2-3 bagian, so stay tune! Also fun fact: cerita ini berdasarkan mimpi random pas aku tidur xixixi. Thanks for reading gusyy

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang