Dreamcatcher

1.6K 145 35
                                    

Diangkat dari pengalaman yang diceritakan oleh I.C.R.

Mereka ada di mana-mana.

Begitu aku membuka mataku, aku langsung mendapati dadaku sulit bernafas. Mereka di mana-mana. Ada apa ini? Mengapa mendadak semuanya menjadi –

"Dam, jangan bengong!"

Mendengar namaku dipanggil, aku cuma bisa menoleh kesana-kemari dengan agak linglung. Rasanya seperti kepalaku sangat ringan hingga jika aku bisa mencabut leherku seperti seutas tali, kepalaku akan terbang hingga stratosfer.

"Hah?" kira-kira hanya bunyi itu yang keluar dari mulutku.

"Sini pistolnya!"

Aku tak bergeming. Mataku mulai mencerna dengan siapa aku bicara – dia berkulit gelap dengan jaket hoodie berwarna indigo terang, dan sedikit sentuhan di aksennya memberi kesan bahwa mungkin dia berasal dari Indonesia sebelah Timur, namun telah lama tinggal di Jakarta. Posturnya tambun, namun solid. Seakan-akan jika aku membenturkan sebatang stik kayu kepadanya, tidak akan banyak makan usaha pada bagiannya untuk membuat kayu itu patah pada kontak pertama.

"Pistol...pistol apa?" kataku dengan suara yang mengawang seringan kepalaku. Sumpah, aku mulai merasa terbang.

"Itu di sabuk lu!"

"Sabuk?"

Aku melihat ke bawah dan baru menyadari pakaian yang kukenakan – kaos putih yang sudah compang-camping, celana jeans hitam selutut, sepatu kets abu-abu berloreng hitam dengan kaus kaki sematakaki, dan sepasang sarung tangan kulit – salah satunya sobek lebar di bagian punggung tangan.

Melapisi kaosku, aku mengenakan sebuah rompi hijau gelap dengan banyak kantong. Aku bisa merasakan bahwa tidak satu kantong pun kosong, namun aku tidak yakin apa isi setiap kantong ini.

Dan si tambun benar – ada sebuah sabuk melingkari pinggangku, memastikan celanaku tidak terlalu longgar. Dan di sabuk itu ada sebuah holster berisi sebuah standard-issue handgun – sepucuk pistol.

"Lo mau selamat apa enggak?" si tambun kembali bertanya, nadanya terdengar keras dan sangat urgen. Aku kembali melihat ke sekelilingku.

Mereka ada di mana-mana.

Namun untuk menghadapi situasi seperti ini, tentu aku akan membutuhkan sebuah pistol. Tentu, di tanganku ada sebuah tongkat pemukul baseball, tapi ini tidak akan membantuku bertahan lama.

Mereka ada di mana-mana.

"Udah, kita takutin aja mereka," jawabku lemah. Aku bisa merasakan mulutku bergerak sendiri, seakan ada yang memutar sebuah video dan audio di kepalaku dan memaksaku mengikutinya. "Pistolnya kosong kok."

Si tambun menatapku dengan agak tidak percaya. "Kondisi gini lo ngosongin pistol?"

"Ahelah, ntar di jalan juga banyak. Lo tau sendiri di luar kaya gimana."

Si tambun menghela nafas dalam. "Bego. Mana mungkin mereka takut ama pistol kosong. Lu kata mereka masih manusia?"

Aku sedikit menggelengkan kepalaku untuk menghilangkan kekaburan yang masih menutupi mataku. Sekarang semuanya sedikit lebih jelas.

Aku sedang berada di sebuah gedung sempit, mungkin sebuah binatu kecil di pinggir jalan. Di depanku adalah sebuah jendela kaca, menunjukkan etalase di dalam binatu ini. Di sebelah jendela superbesar ini adalah sebuah pintu yang nampak disegel dengan sebatang kayu yang mengunci gagang pintu itu di tempat sekaligus mencegah pintu itu didorong dari luar. Nampaknya hanya etalase dan segel ini yang membatasi keberadaanku di sini dengan mereka yang di luar.

DreamcatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang