Pagi itu, kantor perkreditan 'FinAccel' masih lengang. Hanya ada beberapa karyawan yang sudah mulai duduk di meja mereka, sibuk dengan berkas dan telepon masing-masing. Di pojok ruangan, di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya, Afgar duduk di sana. Ia seorang desk collection yang sudah bekerja di sini selama dua tahun. Pagi ini, seperti biasa, ia harus menghubungi beberapa debitur yang terlambat membayar cicilan.Afgar menghela napas panjang sebelum memulai pekerjaannya. Dengan tangan cekatan, ia memasukkan nomor telepon seorang debitur ke dalam telepon kantor dan menekan tombol panggil. Telinganya sudah ia persiapkan untuk mendengar seribu alasan yang mungkin akan diucapkan oleh debitur tersebut.
"Selamat pagi, dengan Bu Tuti?" sapa Afgar dengan nada formal namun sedikit datar. Ia sudah terlalu sering mengucapkan kalimat yang sama sehingga tidak ada lagi semangat yang tersisa.
"Iya, saya sendiri. Ada apa ya?" jawab suara di seberang sana. Suaranya terdengar berat, mungkin baru bangun tidur.
"Bu Tuti, saya Afgar dari pihak perusahaan FinAccel. Saya ingin mengingatkan bahwa cicilan Ibu untuk bulan ini belum dibayarkan. Ibu sudah terlambat dua minggu. Mohon untuk segera melakukan pembayaran agar tidak dikenakan denda tambahan." Afgar berujar dengan nada suara yang dibuat seramah mungkin.
"Ya, saya tahu!" sahut Bu Tuti dari seberang sana, suaranya berubah menjadi ketus. "Sekarang mana ada uangnya? Suami saya baru aja di-PHK, mana bisa saya bayar?"
Afgar terdiam sejenak, dilema antara mengikuti prosedur dan menunjukkan empati. Dia tahu betul nasib Bu Tuti, tapi perusahaannya tidak bisa mentolerir keterlambatan pembayaran.
"Ibu, kami mengerti situasi Ibu saat ini. Tapi, sesuai dengan perjanjian kredit, kami mohon Ibu untuk bisa melakukan pembayaran minimal sebesar Rp 500.000." Afgar berusaha sehalus mungkin menyampaikan permintaannya.
"Rp 500.000? Mana ada uang saya segitu! Saya baru aja beli beras buat makan! Apa kamu pikir uang bisa jatuh dari langit? Kamu cuma tahu menagih, tapi tidak peduli kesulitan orang lain!" Bu Tuti semakin geram, suaranya kian meninggi.
Afgar menghela napas panjang, mulai dongkol juga. Dia menutup matanya sejenak, mencoba meredam emosi. Namun, ketika ia berbicara lagi, nadanya tak bisa menyembunyikan kejengkelan. "Saya paham, Bu. Tapi Ibu juga harus mengerti posisi saya. Kalau Ibu punya kesulitan, sebaiknya Ibu datang langsung ke kantor untuk berdiskusi lebih lanjut. Saya hanya ingin mengingatkan kewajiban Ibu."
Terdengar suara helaan napas panjang dari seberang. "Ck, yasudah, saya akan datang langsung ke kantor. Tapi tolong jangan hubungi saya lagi sementara waktu. Kamu mengerti?!" pungkas Bu Tuti, suaranya mulai mereda tapi masih terdengar kesal.
"Baik, Bu. Terima kasih," tutur Afgar sebelum menutup telepon. Ia meletakkan alat komunikasi itu dengan agak keras, lalu meraup wajahnya kasar.
"Gak sanggup bayar malah sok-sokan minjem, pas diingetin malah maki-maki. Taik emang." misuhnya dengan raut penuh kedongkolan.
Salah satu rekan kerjanya—Lentar— mendekat dan menepuk pundaknya. "Sabar, Gar. Memang begitu kerjaan kita. Yang penting lo udah lakuin tugas dengan baik."
Afgar tersenyum tipis, meski jelas terlihat dipaksakan. "Iya, Len. Kadang cuma butuh ngomel-ngomel sedikit biar lega."
Lentar tertawa kecil. "Ngomel aja, asal nggak bikin lo stres ya. Ayo, lanjut kerja. Masih banyak panggilan yang harus diselesaikan."
Afgar mengangguk dan kembali ke pekerjaannya. Ia tahu, pekerjaan ini memang tidak mudah. Tapi di balik semua itu, ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Dengan hati yang lebih ringan, ia bersiap untuk panggilan berikutnya, berharap kali ini akan lebih lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Brother (brothership lokal)
Fanfic⚠️Brothership area, bukan BL⚠️ Tidak sekalipun Sagar ingin menjadi beban bagi sang adik. Tapi takdirlah yang sudah menggariskannya demikian. Andai dia bisa mengubah takdir, Sagar pasti memilih tidak ingin lahir, jika kehadirannya hanya menjadi benal...