Gambaran Kita

376 15 0
                                    

Tampan. Begitu pikirnya melihat sosok orang yang sibuk menggambar di papan tulis. Memberi coretan-coretan berbentuk dua manusia yang masih belum jelas.

Bagaimana gerak tangannya, wajah serius miliknya, bahkan gumamannya. Menggetarkan hati gadis ini. Gadis yang sibuk memperhatikan, sampai tak sadar dia juga menjadi objek perhatian.

"Kamu ngeliatin apaan, Nis?" tanya seorang temannya, Sira. Nisa bersikap acuh, penggambar tampan yang notabene temannya itu jauh lebih menarik.

Merasa dipandangi, pemuda itu pergi. Mencari angin segar di luar kelas. Menatap sendu bunga gantung layu yang hampir mati.

"Anisa Pratini. Kamu kagum, nge-fans atau apa hah?" tanya Sira lagi dengan nada tidak sabaran yang kentara. Kali ini mendapat tanggapan dari subjek kalimatnya.

"Dia keren,"jawaban tak nyambung tapi menarik kedua sudut bibir temannya. Senyuman penuh arti yang tak disadari.

"Kamu ... suka Hardy?" tanya Sira lagi. Seolah ditampar, Nisa menatap kaget Sira. Mengingat betapa pekanya sahabatnya ini.

Alih-alih menjawab Nisa justru tersenyum. Melangkah, mendekati papan tulis. Mengambil spidol dan membenahi kesalahan garis di papan tulis..

"Ya, aku sayang ... bukan deng, tapi ... suka sama dia."

Akhirnya terjawab juga. Senyuman Sira berubah menjadi seringai. Seolah-olah perkataan barusan sangat menarik perhatian Sira dalam sekejap.

"Lo suka sama siapa?" tanya pemuda tadi. Badannya menyender di pintu. Bersedikap dada. Bertanya-tanya siapa gerangan cowok yang memikat Anisa.

"Ekhem! Nis gue mau nemuin Rika di sebelah. Semangat ya!" ucap temannya tak peduli dengan keadaan Nisa sekarang. Terkejut. Pemikat hatinya justru bertanya siapa yang memikat hatinya.

Hardy -- si cowok penggambar -- mendekat. Mengambil spidol lain lalu melanjutkan pekerjaan tertundanya. Sama dengan Nisa yang juga melanjutkan pekerjaannya. Kini jantung gadis itu berdegub ria. Pipinya memanas, malu kalau sebelahnya tahu irama jantungnya.

Punggung seorang cowok dan cewek saling menautkan tangan. Berseragam sekolah yang tak lain adalah sekolahnya sendiri. Begitulah kira-kira gambar di depannya. Gambaran itu, seperti si penggambar melihat kejadiannya secara langsung.

"Lo mau tau nggak ini gambar siapa?" tanya Hardy lagi masih menatap puas gambaranya. Menyulut rasa penasaran Nisa dengan cepat.

"Cowok itu gue, dan cewek itu orang yang selalu merhatiin gue diem-diem. Sama kayak gue yang juga merhatiin dia diem-diem. Gue tau dia suka sama gue, tapi gue terlalu pengecut buat bilang kalo gue juga sama. Gue pengen gue bisa genggam tangan dia. Jalan bareng sama dia. Ngobrol bareng sama dia. Gue bener-bener sayang sama dia," jelas Ardy panjang lebar menjadi petir bagi Nisa.

Hati Nisa nyeri. Seperti dipukul palu tanpa henti. Medapati kenyataan kalau Hardy sedang menyukai seseorang menghancurkan hatinya dalam sekejap. Ada perasaan kuat ingin pergi dari hadapan Hardy dan berlari ke kamar mandi dan menangis, seperti orang galau.

"Emang dia ... siapa?" tanya Nisa pada akhirnya. Walau sebenarnya Nisa benar-benar ingin menghilang dan tenggelam dalam air mata.

"Hmm.. dia.. dia itu," Hardy menatap gambaran di depannya, lalu tersenyum dan menoleh ke Nisa. "Lo."

Nisa kaget. Separuh hatinya merasa senang karena perasaannya terbalas. Separuh lagi sedih menangkap nada ragu dalam kalimat Ardy.

Ardy sadar kalau nada bicaranya merusak semua, semua usahanya menimbun keberanian. Perlahan tangannya mengenggam tangan Nisa. Amat pelan seolah-olah tangan itu mutiara rapuh yang sangat berharga.

"Gue sayang sama lo," ucap Ardy mantap.

Ardy mengambil nafas pelan, dilepasnya tangan Nisa lalu melanjutkan perkataannya.

"Gue nggak mau bilang cinta ke lo karena lo nggak suka sama kata cinta, iya 'kan? Lo cewek yang suka baper jadi gue selalu nge-chat lo tiap malem. Biar lo kepikiran gue terus,"

Nisa terpana dengan penuturan lembut Ardy. Hatinya terketuk dalam tiap kata yang terlontar dari mulut Ardy. Seakan-akan ada sepasang tangan tak kasat mata yang merengkuh dadanya. Hangat dan nyaman. Ardy sendiri tersenyum melihat reaksi Nisa. Memberinya secercah harapan untuk melangkah lebih maju lagi.

"Nis, gue tau kalo gue cowok yang emang selalu dingin dan jarang banget ngobrol sama lo, tapi sering nge-chat lo tiba-tiba. Tapi, asal lo tau, gue kayak gitu karena gue selalu gugup dan kehilangan pikiran di deket lo.

Gue bingung nyari kata buat ngawalin obrolan, beda ke yang lainnya. Gue kali ini mau jujur sama lo. Gue sayang banget sama lo, lo ... mau gak jadi orang spesial di kehidupan gue buat saat ini dan kedepannya?"

Nisa terharu. Dia tersenyum lalu memukul pundak Hardy pelan. " ku pikir kamu udah pacaran sama cewek lain. Aku pikir kamu itu terlalu susah buat diraih, tapi gak tau kenapa aku nggak peduli sama sekali. Seakan-akan, kamu itu jarum dalam jam kehidupanku. Aku pikir kamu ... nggak tertarik sama cewek kayak aku."

"Sorry Nis. Tapi, lo mau kan jadi orang spesial gue, setelah SMP, gue gak yakin bisa ketemu sama lo lagi. Gue gak bisa ngebiarin hati lo jatuh buat yang lain, lo boleh nganggep gue egois. Tapi, gue lebih brengsek lagi kalo gak ngaku soal perasaan gue," tutur Ardy lembut. Puncak kepala Nisa diusapnya perlahan. Menyalurkan segala kasih sayang yang selama ini selalu tertahan dalam hatinya.

"Ya aku mau asal kan, aku mau kamu janji satu hal sama," jawab Nisa menunduk.

"Gue gak mau buat janji. Karena lo tau, manusia itu gak luput dari kesalahan, gue gak mau ngebuat kesalahan. Gue mau kita ngejalanin ini apa adanya. Tanpa sesuatu yang akan ngatur kita," terang Ardy penuh kelembutan, berbeda dari biasanya. Nada dingin lenyap dari suara Hardy.

Nisa senang. Sungguh. Perasaan bahagia yang memeluk hatinya itu benar-benar memberikan kehangatan yang damai.

Mereka bertatapan sesaat. Mengalirkan segala bentuk kasih sayang tak bernama dari pandangan mata. Riuh tepuk tangan menguar begitu saja. Pasangan baru ini tampak kaget tak percaya, saat melihat teman-teman mereka berdiri di depan pintu sambil tersenyum riang.

"Ciee yang baru jadian!" sorak salah seorang dari mereka yang tak lain sahabat Nisa sendiri.

"Kamu ... tunggu! Kamu nge-video kita dari tadi? Hapus nggak? Hapus!"

Kiya berlari ke arah Sira yang malah berlari ke arah meja guru. Mereka -- Kira dan Sira -- tertawa, mengundang tawa yang lainnya juga.

Sekarang jari-jari yang biasanya kosong itu kini sudah menemukan pasangannya. Menjadi saksi bagaimana kisah kelanjutan dari si pemilik. Berawal dari sebuah gambar, berakhir ke sebuah pengakuan.

~~~

Aneh? Nggak apa lah, cerita ini sangat berarti bagi aku.. //aseek

vote, komen, dan baca ceritaku yang lain.. nggak jamin lebih bagus dari ini. Ada yang lebih absurd malah.

Love youu

Gambaran Kita  [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang