Aku merasa lelah seharian ini, dan merasa merindukan kehidupanku dulu, jadi aku memutuskan untuk pulang ke Rumah. Suara decitan pintu utama yang aku timbulkan menggema di rumah besar milik keluargaku. Aku menghirup udara disekelilingku, aroma nya masih hangat seperti dulu, tak ada yang berubah. Mengedarkan pandangan kesuluruh penjuru rumah berharap mendapati Mama yang sedang memasak didapur ditemani Papa yang sedang meminum secangkir kopi di meja. Oh ayolah, semua harapan itu tak akan menjadi kenyataan. Itu hanya akan menjadi masalalu manis yang bisa aku ingat. Benar, sudah 4 tahun keluargaku hancur bagai gelas pecah yang hancur lebur dan sudah tak bisa diselamatkan. Aku duduk disofa yang biasa menjadi tempat kami berbagi canda tawa dulu. Rasanya aku ditarik kembali ke momen dimana kami masih sangat hangat dan nyaman bagai berada didepan api unggun.
Ku dengar derap langkah berasal dari tangga, itu Papa. Papa masih gagah seperti dulu saat kami masih menjadi satu. Hanya saja raut lelah dan kecewa menelan Papaku yang hangat dan ceria. Mata yang tegas dulu kini berganti menjadi sendu. Aku berjalan mendekati Papa, dan Papa melebarkan tangan menyambut kepulanganku. Rasa hangat yang kurindukan menjalar keseluruh tubuhku. Rasanya aku tak ingin pelukan ini berakhir.
"Sudah berapa lama Putri Kesayangan Papa menunggu disini?" tanya Papa sembari melepaskan pelukannya. Aku tertegun saat mendengar panggilan itu. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir aku mendengar Papa atau Mama memanggilku demikian. "Aku baru sampai Pa. Papa apakabar?" tanyaku sembari mengelus rahang Papa yang semakin menonjol. Beliau terlihat semakin kurus dibandingkan saat terakhir kami bertemu. Gemuruh riuh dihatiku kian melantang, membawaku memeluk kembali raga cinta pertamaku. "Kabar Papa baik, tak ada yang buruk. Bagaimana dengan kamu sayang?" suraiku kembali diusap perlahan. Tenggorokan ku tercekat, rasanya rindu sekali dengan ini semua. "Aku baik. Sangat baik setelah bertemu dengan Papa."
Papa membawaku ke dapur. Papa bilang, Papa sudah menyiapkan beragam macam makanan kesukaanku sebelumnya. Ya, Papa cukup pandai memasak, dan Mama bahkan mengakui bahwa Papa adalah partner memasak terbaik. Dengan cekatan Papa menyiapkan nasi beserta lauk-pauk untukku, Papa juga menyuapiku persis saat aku kecil dulu. Lagu Paman Tua karya Nadin Amizah mengalun lembut ditelinga ku sebagai teman ku dan Papa kali ini. Lagu ini pertama kali ku dengar saat orang tua ku merayakan hari jadi pernikahan ke 12 tahun, tepatnya 10 tahun yang lalu. Kata Mama, lagu ini menjadi saksi cinta seorang Ayah untuk keluarga nya, serta untuk aku mengingat setiap detail apa yang sudah orang tuaku berikan.
Setelah suapan terakhir ku telan habis, Papa lantas mencuci alat makan yang tadi ku gunakan. "Papa, biar aku saja. Sana Papa istirahat dikamar, aku bisa melakukan ini kok. Aku sudah besar." aku segera melangkahkan kaki mendahului Papa agar aku yang menggantikan nya. "Papa mau memanjakan anak Papa, memangnya itu salah ya?" ujarnya dibuat sedih. Aku tau itu adalah trik agar aku tidak membantah ucapan nya. Tapi aku tak mengindahkan perkataan Papa dan langsung mencuci alat makanku. Saat ku tolehkan kepalaku kebelakang, Papa duduk dikursi meja makan sembari tersenyum kearahku, "Kamu sudah besar, padahal 21 tahun yang lalu kamu masih sangat ringkih ketika Papa gendong." aku hanya tersenyum menanggapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karuna
Short StoryPerasaan hangat menjalar ketika Mama dan Papa membawaku kedekapan mereka. Hangat yang hinggap selalu ku ingat jelas dalam benakku. Tuhan, tolong jangan biarkan ini semua cepat berlalu.