San menyimpan rahasia yang sudah lama ingin dia bagi dengan teman-temannya.
Meski kekasih-kekasihnya—Hongjoong, Seonghwa, Yunho, Yeosang, Wooyoung, Mingi, dan Jongho—sudah mengetahui sebagian dari rahasia ini, San merasa perlu mengungkapkannya sepenuhnya agar mereka bisa memahami dan mendukungnya dengan lebih baik.
Suatu malam, setelah latihan yang melelahkan, San mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan yang lain. Dia mengajak mereka berkumpul di ruang tamu dorm, suasana terasa hangat namun tegang. Para anggota duduk di sofa, saling berpandangan dengan rasa penasaran.
“Ada apa, San? Kau terlihat serius,” tanya Hongjoong dengan nada penuh perhatian.
San menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. “Aku ingin mengungkapkan sesuatu yang sangat pribadi. Ini bukan hal yang mudah bagiku, tapi aku merasa kalian semua perlu tahu.”
Seonghwa, yang duduk di sebelah San, meraih tangan San dan menggenggamnya erat-erat. “Kami selalu ada untukmu, San. Apa pun itu, kau bisa membagikannya dengan kami.”
San tersenyum lemah, merasakan kehangatan dari dukungan Seonghwa. “Kalian mungkin sudah tahu bahwa aku pernah mengalami masa sulit ketika masih remaja. Aku sering merasa cemas dan tidak percaya diri. Ada banyak tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar yang membuatku merasa terjebak.”
Para anggota mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan San ruang untuk melanjutkan. “Namun, ada satu hal yang belum pernah aku ungkapkan sepenuhnya. Sejak kecil, aku sering mengalami serangan panik. Ini adalah sesuatu yang sangat mengganggu hidupku dan karirku sebagai idola.”
San berhenti sejenak, mencoba menahan air mata yang mengancam akan jatuh. “Aku selalu berusaha untuk menyembunyikannya karena aku tidak ingin membebani kalian. Tapi semakin lama, semakin sulit untuk menanggungnya sendiri.”
Wooyoung, yang duduk di sebelah kanan San, meraih tangan San yang lain. “San, kau tidak pernah sendirian. Kami semua di sini untuk mendukungmu. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari kami.”
San merasa lega mendengar kata-kata Wooyoung. “Terima kasih, Wooyoung. Aku hanya merasa takut bahwa ini akan mempengaruhi kalian dan pekerjaan kita.”
Yunho, dengan suaranya yang lembut namun tegas, berbicara. “San, kita adalah keluarga. Tidak ada satu pun dari kita yang akan merasa terbebani dengan masalahmu. Sebaliknya, kita ingin membantu dan mendukungmu.”
Jongho menambahkan, “Kita bisa mencari cara untuk mengatasi serangan panikmu bersama. Apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk membantumu merasa lebih baik?”
San merasa hatinya hangat dengan dukungan dan perhatian yang diberikan oleh mereka. “Aku rasa, hanya dengan mengetahui bahwa kalian memahami dan mendukungku sudah sangat membantu. Mungkin kita bisa mulai dengan berbicara lebih terbuka tentang perasaanku dan mencari cara untuk mengelola kecemasan ini.”
Hongjoong, sebagai pemimpin yang bijaksana, mengangguk. “Itu ide yang bagus, San. Kita bisa mencari bantuan profesional juga, jika kau merasa itu perlu. Yang terpenting adalah kesehatanmu, baik fisik maupun mental.”
Mingi, yang biasanya lebih tenang, juga memberikan dukungan. “Aku juga bisa menemanimu ketika kau merasa cemas. Kadang-kadang, hanya dengan berada di dekat seseorang yang kau percayai bisa membantu.”
San merasa matanya berkaca-kaca dengan rasa terima kasih. “Terima kasih, semuanya. Aku benar-benar merasa lebih baik sekarang setelah mengungkapkannya. Aku akan berusaha untuk lebih terbuka dan meminta bantuan saat membutuhkannya.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama dengan lebih dekat dan penuh kasih sayang. Para anggota ATEEZ saling berbagi cerita dan perasaan mereka, menciptakan ikatan yang semakin kuat.
Hari-hari berlalu dengan lebih ringan untuk San. Ia merasa beban yang selama ini menghimpit dadanya mulai berkurang berkat dukungan dari kekasih-kekasihnya. Mereka tak hanya anggota grup yang profesional, tetapi juga keluarga yang saling menjaga dan memahami.
Namun, suatu malam, serangan panik datang kembali tanpa peringatan. San baru saja selesai latihan yang intens di studio dan ketika ia melangkah keluar, hawa dingin malam menyambutnya. Detak jantungnya tiba-tiba meningkat, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya menjadi pendek-pendek.
San berusaha menenangkan dirinya, tapi kepanikan semakin menggulungnya. Ia merosot ke tanah, menggenggam dadanya, mencoba menarik napas dalam-dalam namun sia-sia. Dalam kepanikan itu, bayangan masa kecilnya yang penuh tekanan muncul kembali, menambah kecemasan yang dirasakannya.
Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan lembut di bahunya. Hongjoong, yang melihat San terjatuh dari pintu studio, segera berlari menghampirinya. "San, lihat aku," kata Hongjoong dengan suara tenang namun tegas. "Tarik napas perlahan, ikuti napasku."
San menatap Hongjoong, mencoba mengikuti ritme napasnya.
Perlahan, napas San mulai teratur kembali, meskipun detak jantungnya masih kencang. Hongjoong tetap berada di sisinya, tidak meninggalkan San bahkan untuk sedetik pun.
Satu per satu, kekasih San lainnya datang menyusul setelah mendengar kabar dari Hongjoong. Seonghwa berlutut di sebelah San, memegang tangannya erat-erat. "Kita di sini, San. Tidak apa-apa. Kamu aman."
Yunho, dengan tatapan penuh perhatian, duduk di samping Seonghwa. "Kami tidak akan pergi ke mana-mana, San. Kamu bisa melalui ini. Kita bersama."
Mingi dan Wooyoung berdiri di belakang mereka, memastikan tidak ada yang mengganggu momen itu. Yeosang dan Jongho, meski cemas, berusaha tetap tenang untuk mendukung San.
Setelah beberapa menit, San mulai merasa lebih baik. Napasnya kembali normal dan kepanikan yang melanda mulai mereda. "Terima kasih, semuanya," katanya dengan suara yang masih terdengar lemah.
Wooyoung membelai rambut San dengan lembut. "Tidak perlu berterima kasih, San. Kami adalah keluargamu."
Malam itu, mereka semua kembali ke dorm bersama-sama. Hongjoong memutuskan untuk mengajak San berbicara lebih lanjut tentang perasaannya dan serangan paniknya. "San, kita harus mencari solusi jangka panjang. Bagaimana kalau kita menemui seorang terapis?"
San mengangguk, merasa bahwa ini adalah langkah yang tepat. "Aku setuju, Hongjoong. Aku ingin mencoba segala cara untuk mengatasi ini."
Selama beberapa minggu berikutnya, San mulai menemui terapis.
Sesi-sesi itu memberinya banyak wawasan tentang dirinya dan cara-cara efektif untuk mengelola kecemasannya. Yang terpenting, dia merasa didukung sepenuhnya oleh kekasih-kekasihnya.
Hubungan mereka semakin erat seiring berjalannya waktu. Suatu malam, setelah sesi terapi yang intens, San merasa kelelahan namun lega. Dia kembali ke dorm dan mendapati kekasih-kekasihnya telah menyiapkan makan malam bersama.
"Ini untukmu, San," kata Yeosang sambil tersenyum. "Kami ingin merayakan setiap langkah kecil yang kau ambil."
San merasa sangat tersentuh. "Terima kasih, kalian semua. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kalian."
Setelah makan malam, mereka semua berkumpul di ruang tamu, berbicara dan tertawa bersama.
Malam itu, mereka memutuskan untuk tidur bersama di ruang tamu, membuat semacam pesta tidur dadakan. Dalam kehangatan dan kebersamaan itu, San merasakan cinta yang mendalam dari mereka.
Ketika lampu dimatikan dan suasana menjadi tenang, San berbaring di antara mereka, merasa lebih aman dan dicintai daripada sebelumnya. Hongjoong, yang berbaring di dekatnya, membisikkan kata-kata terakhir sebelum tidur, "Kita akan melalui semuanya bersama-sama, San. Kamu tidak pernah sendirian."
San tersenyum dalam kegelapan, merasakan cinta yang mengalir dari mereka semua. "Terima kasih, Hongjoong. Aku mencintai kalian semua."
Dalam kebersamaan itu, mereka menemukan kekuatan yang lebih besar daripada yang mereka bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictionSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456