02. Yang tak Ter-amini

84 39 23
                                    

───────── ⋆⋅🌛⋅⋆ ─────────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

───────── ⋆⋅🌛⋅⋆ ─────────

Kala mentari menjulang tinggi di langit, gebrakan meja bundar ruang OSIS membuat seluruh yang ada disana terdiam membisu. Lirikan tajam bak elang ber-mahkota telah menusuk ginjal para anggota lainnya sehingga mereka terkena mental. Hans Cayapata—selaku ketua yang paling unggul dan disukai banyak siswi-siswi SMA Sanubari, jelas muak karena Vincent hari ini memutuskan izin.

Bukan karena apa-apa, tetapi masalahnya ribuan formulir untuk tanda tangan persetujuan melaksanakan festival malam di sekolah ada padanya, apalagi sudah direncanakan pasti oleh pihak kepala sekolah. Dia kesal, amarah kian meluap sehingga wajahnya terlihat seperti sebuah tomat. Merah.

"Lagi-lagi Vincent mengambil kepercayaan ku, padahal semalam dia sudah berjanji untuk mengantarkan formulir pagi ini. Dasar sialan!" sungut Hans mengepal telapak tangan, daksanya kembali terduduk pasrah. Pikirnya salah, dia tidak seharusnya memercayai janji berupa dusta Vincent setelah kasus kematian sahabat karib Hans—Arjuno Danurdara.

Salah satu anggota menghela napas kasar, langkah kakinya bergema pada ruangan luas tak kedap suara. Wanita sebaya berambut elok itu mendekati lokasi dimana Hans membuang nafasnya yang begitu boros, ia menggenggam jari-jemari Hans nun begitu hangat. Lalu dia tersenyum teduh, "Sudahlah, Hans. Masalah gak akan selesai kalau kamu hanya bisa berkata kasar. Lagipula masih ada waktu satu bulan untuk menyiapkan semuanya, tenang saja, ya?"

Bukannya tenang, Hans justru mengacak-acak surai hingga tertampil seperti seekor singa dengan paduan amarah bergejolak. Kekasihnya—Rosanne Agnes—tetap dengan tujuannya yaitu menenangkan si pahlawan walau sedikit sukar. "Gak! Vincent itu pendusta, Nes. Aku hanya gak mau kebohongan nya menjadi akibat buruk untuk sekolah kita, kamu mau kejadian 2 tahun lalu kembali terjadi? Enggak 'kan?"

"HANS!" suara lantang pemimpin sebenarnya memekik tajam, dia adalah Henrik, tahta tertinggi siswa SMA Sanubari juga kakak dari seorang Hans Cayapata. "Itu masa lalu, Vincent anak baik. Semua penjelasannya terbukti tidak salah, kok! Kamunya saja yang kukuh dan tolol." sembur Henrik tiada ampun. Hal itu kian hampir membuat dirinya sendiri celaka akibat pukulan tiba-tiba yang melayang cepat.

"Anak baik? Kebakaran sekolah itu juga karena dia, Kak! Dia membunuh Juno, salah satu sahabat setiaku, dia juga hampir melenyapkan Agnes pada hari itu. Pikiranmu kotor. Apa sehabis kejadian mengenaskan seperti itu dia berhak hidup?"

Ketika bangkit kembali setelah sudut bibir di buat memar biru, Henrik menguatkan urat-urat tubuhnya hingga tonjolan otot kecil itu dipenuhi garis hijau. Kedua Daksa disana berseteru memikirkan logika licik, lalu secara spontan—Henrik mencengkram kasar kerah putih seragam sang adik. Matanya memicing sampai sipit. "Justru kamu lah manusia yang berhak mati, Hans."

.ᐟ.ᐟ.ᐟ

Kibasan lebat angin selatan menerbangkan pesawat kertas yang Javi buatkan beberapa detik lalu di atap rumah sakit. Kertas lusuh nun penuh lipatan itu Javi anggap telah terbang tinggi menembus lapisan awan-awan sore yang berkompromi dengan warna jingga tua, dia harap pesawat itu dapat jatuh pada tangan penerima surat. Sebagai anak yang ingin merasakan manis pahitnya kehidupan sehari-hari tanpa alat, Javi menuliskan surat untuk Tuhan.

TerbisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang