<>
Matahari sore menyinari Pantai Selatan dengan cahaya emas yang hangat. Ombak bergulung pelan, menciptakan irama yang menenangkan. Arkana Sastro Maranelo, bocah delapan tahun cerdas dengan matanya yang begitu bulat penuh akan rasa ingin tahu, berjalan menyusuri pantai, kakinya merasakan dinginnya pasir basah.
Dia selalu terpesona oleh Horizon, kata yang diajarkan oleh orang tuanya yaitu di mana tempat langit tampak menyatu dengan lautan.
Arkana sibuk mengumpulkan kerang di dekat air ketika tiba-tiba terdengar tawa riang. Dia menoleh, melihat anak laki-laki dan perempuan sepantaran, yang satu sedikit lebih tinggi darinya, di umur Arkana yang terbilang masih sangat kanak-kanak pun ia dapat mengetahui bahwa kedua anak tersebut adalah kembar. Mereka berdua sedang berlari mengikuti ombak yang mundur, kemudian melompat mundur saat ombak datang kembali. Kedua anak itu tampak menikmati permainan dengan alam.
Arkana mengamati dengan rasa ingin tahu, kemudian mendekat sedikit untuk melihat lebih jelas.
Namun, sebuah ombak besar mendadak muncul, menghantam pantai dengan kekuatan yang tak terduga. Arkana, yang berdiri terlalu dekat, kehilangan keseimbangan dan terseret oleh arus yang kuat.
Air asin memenuhi mulutnya dan matanya, membuatnya sangat panik. Dia berusaha menggapai-gapai, mencoba berenang ke permukaan, tapi ombak terlalu kuat. Di tengah kekacauan itu, sebuah tangan tiba-tiba meraih lengannya dengan kuat, menariknya ke atas.
Anak laki-laki tadi, yang tampaknya menyadari bahaya, berlari menghampiri dan menarik Arkana keluar dari air dengan tenaga yang mengejutkan untuk usianya. Mereka tersandung ke pasir yang lebih tinggi, napas mereka terengah-engah.
Arkana terbatuk, mengeluarkan air dari mulutnya. Sebelum dia sempat berkata apa-apa, suara panggilan dari kejauhan terdengar.
"Julian! Ayo pulang!"
Anak itu menoleh ke arah suara tersebut, kemudian kembali melihat Arkana dengan cemas. “Aku harus pergi,” katanya cepat-cepat.
“Kamu baik-baik saja?”
Arkana hanya bisa mengangguk, masih terguncang dan belum bisa berbicara. Julian berdiri, mengangguk cepat, lalu berlari menuju keluarganya yang sudah menunggunya di kejauhan. Arkana menatap punggungnya yang semakin menjauh, belum sempat mengucapkan terima kasih atas pertolongan barusan.
Saat Julian menghilang dari pandangan, Arkana duduk di pasir, masih terengah-engah merasakan campuran antara ketakutan dan rasa syukur. Dia tahu bahwa kejadian ini akan selalu diingatnya, dan dia berharap suatu hari nanti bisa bertemu lagi dengan Julian untuk mengucapkan terima kasih yang layak.
Matahari semakin tenggelam di cakrawala, menciptakan langit yang dipenuhi warna-warni oranye dan merah. Arkana memandang ke laut yang kini tampak lebih tenang.
Dia merenungkan betapa tipisnya batas antara petualangan dan bahaya, antara bermain dan tragedi.
Pantai ini, yang sebelumnya selalu memberinya rasa damai, kini memiliki kenangan baru buruk yang akan terus melekat di benaknya.
Dengan langkah perlahan, Arkana bangkit dan berjalan kembali ke arah keluarganya yang terlihat khawatir melihatnya berjalan lemas dan sudah kuyup. Dia tidak tahu apakah dia akan bertemu Julian lagi, tapi dia merasa ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekedar pertemuan singkat di pantai ini.
Horizon.
Tempat langit dan laut bertemu, menjadi saksi bisu dari awal sebuah kisah yang akan terus berlanjut, meskipun mereka terpisah oleh waktu dan jarak.
<>
KAMU SEDANG MEMBACA
Horizon [a jaemark au]
FanfictionEksplorisasi cinta yang berkembang, identitas, dan ketangguhan yang diperlukan untuk menemukan jati diri sejati di lingkungan yang penuh tekanan sosial. Horizon menjadi simbol dari harapan dan kemungkinan tak terbatas yang dihadirkan oleh cinta sej...