Suara Dari Satya

26 5 0
                                    

Aku ingat hari itu.

Hari dimana seorang pria datang ke panti asuhan tempat aku dibesarkan. Hari dimana setelah enam belas tahun menunggu, akhirnya seseorang datang ke panti asuhan untuk menjemputku. Aku ingat ketika ibu panti menjelaskan dengan bahasa isyarat bahwa pria yang sedang duduk di hadapanku itu adalah ayah kandungku.

Ah iya, aku lupa memberitahu kalian.

Aku seorang tunarungu.

Mungkin itu adalah alasan utama mengapa aku tinggal di panti asuhan sejak kecil. Tapi, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Lagipula, ayah sudah meminta maaf padaku. Hari itu juga, adalah hari kepergianku meninggalkan panti asuhan tempat aku dibesarkan. Di tengah-tengah perjalananku, aku menuliskan sesuatu di buku catatan kecil yang selalu kubawa. Aku mengajukan pertanyaan pada ayah;

Ayah, dimana bunda?

Ayahku tersenyum miris ketika membaca tulisanku. Bukan, bukan karena tulisanku jelek. Tetapi karena pertanyaan yang ku ajukan. Kemudian, ayah menuliskan jawabannya di bawah tulisanku.

Kita akan bertemu bunda.

Aku terkejut ketika mobil yang aku tumpangi masuk ke pelataran rumah sakit. Ayah mengajakku untuk masuk kedalam. Di sepanjang lorong rumah sakit, ayah tidak mengatakan apapun padaku. Sampai akhirnya, kami sampai didepan sebuah kamar rawat inap. Ayah membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk. Didalam ruangan itu, aku melihat seorang wanita cantik tengah terbaring di atas tempat tidur. Ayah mendekati wanita itu. "Dia Satya, anak kita" kata ayah.

Tangis wanita itu pun pecah ketika mendengar ucapan ayah. Tangan wanita itu bergerak, menyuruhku untuk mendekat. Aku pun mendekat ke arahnya. Aku terkejut ketika mengetahui bahwa wanita itu bisa menggunakan bahasa isyarat. Dalam bahasa isyarat, wanita itu mengatakan;

"Satya, ini bunda"

Aku pun membalasnya dengan bahasa isyarat;

"Satya seneng bisa ketemu sama bunda"

Saat itu juga, wanita cantik itu memelukku dengan erat. Ia mendekapku dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Dan, pada saat itulah, untuk pertama kalinya aku merasakan dekapan seorang ibu. Tanpa sadar, air mataku pun menetes.

Beberapa hari kemudian, bunda sudah diperbolehkan untuk pulang. Kami pun pulang ke rumah. Ternyata, rumah ayah dan bunda sangat besar! Seperti istana di negeri dongeng. Kehidupanku terasa sangat bahagia karena ada ayah dan bunda di sampingku. Apalagi, ketika bunda mengatakan bahwa ayah akan membawaku ke Singapura untuk menjalankan operasi dan pengobatan untuk kedua telingaku. Aku sangat bahagia!

Akhirnya setelah enam belas tahun aku hidup dalam keheningan, aku bisa mendengar suara-suara indah di dunia ini. Aku baru tahu kalau hujan memiliki suara yang sangat menenangkan. Aku juga baru tahu bagaimana merdunya suara burung ketika berkicau. Dan aku juga baru tahu kalau alat musik seperti piano menghasilkan suara yang sangat indah.

Tetapi, kebahagiaanku itu seketika sirna ketika ayah mendapatkan telepon dari dokter pribadinya di Indonesia. Dokter mengatakan, bunda baru saja dilarikan ke rumah sakit dikarenakan drop tiba-tiba. Saat itu juga, kami memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat itu. Rasanya campur aduk.

Ketika sampai di rumah sakit, aku melihat kondisi bunda yang sangat menurun. Wajahnya pucat, tatapan matanya yang sayu, dan ada selang oksigen di hidungnya. Aku mendekat ke arah bunda. Dengan gerakannya yang terbatas, bunda mengusap rambutku.

"Maafin bunda.. bunda sayang sama Satya.."

Aku tidak pernah menyangka bahwa kalimat itu adalah kalimat terakhir bunda yang aku dengar.

Ya.

Bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Tangisanku pecah seketika. Andai aku tahu bahwa yang akan kudengar setelah aku tidak lagi tuli adalah kalimat terakhir bunda, suara nafas tersengal bunda di akhir hayatnya, suara mesin EKG yang berdengung keras, bahkan suara tangisan ayah di samping pusara bunda, maka lebih baik aku tuli untuk selama-lamanya.

Andai aku tahu bahwa sebulan terakhir ini adalah saat-saat terakhir bunda, lebih baik aku tidak usah menjalankan operasi untuk kedua telingaku. Biarlah aku tetap tuli agar bisa mengukir lebih banyak kenangan bersama dengan bunda. Bersama dengan wanita yang melahirkanku, wanita yang tidak pernah kulihat wajahnya dan kudengar suaranya selama enam belas tahun terakhir.

Andai aku tahu bahwa selama ini bunda menderita karena penyakitnya, maka aku akan berdoa kepada Tuhan agar ia memindahkan penyakit itu kepadaku. Tuhan.. sudah cukup enam belas tahun aku hidup menderita tanpa bunda. Aku tidak sanggup jika hidup tanpa bunda untuk selama-lamanya Tuhan..

Selama hampir satu Minggu, yang dapat kudengar dirumah ini hanyalah suara tangis. Entah itu suara tangisan ayah atau bahkan suara tangisanku sendiri. Tak ada lagi kebahagiaan dan senyuman hangat bunda. Kami belum bisa mengikhlaskan kepergian bunda.

Bunda.. jika memang ini takdir untukku, maka aku akan mengikhlaskanmu pergi. Tunggulah aku dan ayah di sana. Kita bertiga akan memulai hidup baru yang lebih bahagia disana suatu hari nanti. Tanpa penderitaan dan tanpa penantian panjang.

Selesai.

Suara Dari Satya✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang