Dito terlihat enggan untuk berbicara.
Ia hanya berdiri mematung di depan gadis yang menampakkan wajah tidak sabaran itu. Suara riuh siswa-siswi SMA Aksara Bangsa memenuhi kompleks bangunan yang membentuk huruf 'U' kaku tersebut.
Dari tadi Dito hanya kalut dalam keraguan sambil menangkap bau cat baru dari dinding biru muda di sebelahnya. Ada semut berbaris di dinding itu yang menandakan cat sudah kering dan bisa dihinggapi makhluk hidup.
"Gua..." lelaki berkacamata itu mulai berucap.
Vera, gadis dengan rambut bergelombang yang ada di hadapannya mulai tambah penasaran. Jika dilihat dengan lebih teliti, lensa kontak bening menyelubungi bola matanya yang kemelitan.
"Gua s-suka sebenernya sama lu," Dito terlihat menyesal dengan kalimat yang baru saja keluar dari lisannya. "Gua nggak tahu sih pantes atau nggak nembak dengan cara gini. Kayaknya gua juga udah tahu jawaban lu bakal gimana. Tapi gua mau tetep coba untuk-"
"Iya, gua terima," balas Vera dengan cergas. Sebelumnya ia sempat mengernyitkan dahi dan menyentuh-nyentuhkan kuku ibu jari tangan pada bibirnya dengan kilap lip balm berwarna merah muda, "tapi lu harus masuk klub sastra!"
Ucapan Vera sontak membuat Dito terperangah. Dito bahkan tidak sempat mencerna dengan baik perkataan perempuan yang ada di depannya.
"Hah?"
"Ya, lu gabung ke klub sastra!" mata Vera sempat melirik kiri-kanan—seperti memikirkan kalimat yang tepat untuk meyakinkan Dito. "Jadi gua terima, tapi lu harus gabung ke klub sastra. Gampang kan?"
Syarat Vera yang diucapkan sampai tiga kali itu terkesan absurd bagi Dito. Ia kini malah mempertanyakan apakah pilihannya untuk menembak gadis eksentrik itu adalah hal yang tepat.
"Lah kok?" Dito masih keheranan.
"Please. Percaya sama gua, lu pasti suka!"
Vera mebulatkan mata seraya memamerkan wajah penuh permohonan.
"Nggak-nggak. Maksud gua, gua serius mau pacaran sama lu," Dito mencoba meluruskan maksud ia yang sebenarnya, kalau-kalau Vera hanya menganggap Dito bercanda soal ini.
"Iya, gua juga serius. Gua terima. Gua mau jadi pacar lu, tapi gua juga serius ngajak lu untuk gabung ke klub sastra. Gua yakin lu pasti mau dan... Dan bakal nyaman di klub itu," Vera hampir kebingungan harus bagaimana lagi meyakinkan laki-laki di ambang wajahnya.
Dito memang pernah dengar tentang beberapa kasus orang yang mengungkapkan perasaan ke lawan jenisnya. Lantas diberikan syarat tertentu untuk menentukan diterima atau tidak ungkapan cintanya. Namun semua ini begitu asing bagi Dito. Ia memang tidak memiliki pengalaman hubungan romantis dengan lawan jenis, tetapi Dito bukanlah cowok bodoh. Ia bisa membedakan mana yang wajar dan mana yang tidak. Dalam kasus ini, permintaan Vera sangat tidak wajar, bahkan malah terkesan mempermainkan perasaannya.
"Lu nggak lagi mainin gua kan?" Dito akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Ia terdengar serius ketika memastikan hal itu.
"Nggak. Gua serius. Tapi kalau lu nggak mau masuk klub sastra ya... Nggak apa-apa sih," wajah bersemangat Vera akhirnya padam. Ia menoleh ke sisi lain dan terlihat menggigit bibirnya.
Di saat itu Dito sempat bingung. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang menggelikan; tidak jadi meminta Vera untuk berpacaran dengannya, lalu mengatakan "ah yaudah gua nggak jadi deh nembak lu"; atau menyanggupi syarat yang diberikan Vera lantas resmi berpacaran dengannya.
"O-okay, gua terima. Ma-maksud gua, gua mau masuk klub sastra," laki-laki berkacamata itu akhirnya membuat keputusan instan. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk memilih hal ini.
Lagian, gua juga nggak punya kegiatan lain setahun ini, begitu salah satu alasan Dito sebelum mencetuskan pilihannya.
"Serius?" Vera melebarkan matanya, "lu mau gabung?"
"I-iya," Dito menjawab ragu-ragu.
"Yehet!" Vera bersorak dengan bahasa yang tidak diketahui oleh Dito. "Berarti udah pas 5 orang."
"Hah?" Dito keheranan dengan kalimat yang barusan ia dengar.
"Makasih ya!" Vera terlihat senyum-senyum sendiri setelahnya, "ah iya, gua pergi dulu." Setelah itu Vera melesat dari belakang gedung A—tempat pertemuan mereka—melewati pohon mangga dekat kantin sekolah.
"Lah, mau kemana?" Dito setengah berteriak.
"Ketemu Pak Agus," Vera menyambut teriakan Dito dengan suara riang. "Selamat datang di klub sastra ya, Anandito Suherman!"
Dito hanya terdiam mendengar nama lengkapnya dipanggil. Benar saja, di balik pohon mangga dekat kantin sekolah itu terdapat ruang guru yang bahkan kelihatan pintu dan jendelanya dari tempat Dito berdiri.
Saat itu banyak hal yang membuat Dito heran tentang Vera dan hubungannya yang baru saja dimulai. Saking herannya, bahkan Dito lupa untuk meminta nomor Whatsapp Vera dan itu membuat dirinya merasa bodoh.
Pacaran kok belum punya nomor masing-masing dah? Emangnya ini bener-bener pacaran ya? Dito membatin lantas menghela napas berat dari paru-parunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUDGEMENTAL
Teen FictionPernahkah kau melihat seseorang dengan mata seperti seekor ikan yang telah mati? Apa yang tersembunyi di balik mata misterius mereka? Hati yang terluka? Masa lalu yang sengsara? Atau jiwa yang membusuk karena luka menganga? Selamat datang di klub sa...